"Baiklah—" Ujar seorang pria dengan badge name bertuliskan
Carroll Newton yang melekat pada seragam polisi yang dikenakan olehnya.
Ia terlihat resah dengan wajah sayu, terlihat tak mempunyai pilihan
sama sekali. "Kasus ini ditutup!"
Ruangan yang
bercahayakan sinar redup tersebut berubah menjadi riuh, setelah
sebelumnya diselimuti keheningan dan suasana yang kondusif—sedikit
mencekam.
Para polisi lainnya,
bersama beberapa oknum dan detektif yang mengikuti rapat besar tersebut,
semua saling mengeluarkan argumen masing-masing yang membuat suasana
menjadi sangat kacau.
"Tenang! Harap tenang!"
Ucap Carroll tegas, menghentikan segala aksi yang sedang terjadi. Ia
melemparkan tatapan yang begitu mengintimidasi. "Kita sudah selesai
disini!"
Semua oknum yang semula
terdiam, kini satu diantaranya mengangkat tangan. Carroll yang awalnya
berniat untuk mengacuhkan pria tersebut, hanya bisa mendengus, mengalah
untuk mendengarkan argumen apa yang akan diberikan oleh pria tersebut.
"Aku akan menyelidiki
kasus ini seorang diri!" Tukas pria tersebut dengan mantap, membuat
semua oknum memandang kearahnya dengan ekspresi tanda tak percaya.
"Apa kau sudah gila?"
Balas Carroll dengan nada penuh emosi. "Apapun yang nantinya akan
terjadi padamu, pasti akan menjadi tanggung jawab kepolis—"
"Kalau begitu, aku akan melepaskan kewarganegaraanku!" Tuturnya yang semakin tenang. Pria tersebut berhasil membuat semua orang shock mendengarnya. "Keputusanku sudah bulat. Terima kasih atas waktunya!" Tambah pria tersebut.
Pria tersebut hanya menampakkan ekspresi yang begitu datar, tak jauh dari foto yang tertera pada passcard yang menggantung dengan tali panjang di lehernya.
Jeremy Hudson. Itulah nama pria yang menjadi sorot pandang semua orang, selagi kakinya melangkah pergi dari ruangan tersebut.
*****
"Kepolisian akan mencari barang bukti dan saksi mata hari ini, sebelum menutup kasus hilangnya Maria esok hari..."
"Berita
hari ini tak memuaskanku sama sekali!" Tukas seorang pria yang berbadan
besar, sembari menyeruput kopi hitamnya. Ia kemudian terdiam ketika
matanya mendapatkan diri seorang pria lainnya yang sedang berbenah.
"Jerry!"
Sapanya pada pria yang bernama lengkap Jeremy Hudson tersebut, membuat
pria itu terhenti dari aktivitasnya dan menatap balik pria yang
memanggil namanya tersebut. "Apa yang sedang kau lakukan?" Tanyanya
penasaran.
"Oh,
hey Tim. Aku sedang bersiap-siap untuk menyelidiki kasus hilangnya
Maria. Aku akan pergi seorang diri. Kita tak dapat mengandalkan kinerja
polisi di negara ini. Oleh karena itu, aku melepaskan kewarganegaraanku
untuk melakukan hal ini." Jawab Jeremy panjang lebar, sedangkan
tangannya masih sibuk berbenah.
Pria
yang bernama Tim tersebut tercengang. "Jerry, aku tak tau apa yang kau
bicarakan. Kau sudah pensiun dari pekerjaanmu. Bersantailah! Habiskan
waktu tuamu untuk hal ringan, bukan dengan pekerjaan bodoh itu." Timpal
Tim yang tak setuju dengan apa yang akan dilakukan oleh adik, sekaligus
mantan rekan kerjanya tersebut.
"Keputusanku sudah bulat." Jawab Jeremy yang kini sudah siap untuk memulai misinya. "Doakan saja yang terbaik untuk diriku."
Tim
hanya berkecak pinggang, sementara adiknya itu telah melemparkan
senyumnya, lalu menghilang di balik pintu rumah kayu jati minimalis yang
sudah menjadi tempat mereka menetap selama beberapa tahun terakhir.
*****
Lampu
redup dengan berbagai warna, berkelap-kelip menghiasi ruangan yang
dipenuhi oleh puluhan manusia yang sedang berpesta. Disana juga terlihat
outlet yang dipenuhi berbagai macam bir pada seluruh raknya.
Jeremy duduk di sebuah kursi tinggi pada outlet bar tersebut, memesan segelas wine. Mata pria itu terus memandang ke seluruh sudut ruangan tersebut, layaknya sedang mencari sesuatu.
"Hei,
kau tahu Maria? Model yang sering datang kesini?" Tanya Jeremy pada pria yang merupakan barista bar tersebut.
"Iya, aku mengenal wanita itu. Dirinya sangat cantik!" Jawab pria tersebut, sembari memberikan segelas wine pada Jeremy. "Ia selalu datang kesini setiap malam. Tepat sebelum hari dirinya dikabarkan menghilang." Tambahnya.
Jeremy
berdeham, mencoba memahami masalah tersebut dengan teliti. Dalam
diamnya, ia teringat akan sesuatu, kemudian menampilkan selembar foto
pada pelayan tersebut. "Kau mengenal pria ini?" Tanyanya tegas.
Pelayan tersebut menelaah foto itu sejenak. "Ya." Jawabnya singkat, namun masih dengan wajah bingung.
"Bisakah aku bertemu dengannya?" Tanya Jeremy penuh harap, yang terbalas dengan keberadaan orang yang dicarinya tersebut.
Jeremy
berjalan santai kearah sofa merah yang sangat besar yang berada di
pojok ruangan. Disanalah orang yang ia cari berada, bersama tiga orang
wanita yang berpakaian minim mengelilingi tubuhnya.
Pria botak berkulit coklat gelap tersebut menggunakan setelan singlet putih dan celana jeans hitam. Terlihat seperti pria berandalan yang memang sedang menjadi hits di kota ini.
"Permisi!"
Tutur Jeremy ramah, menghentikan aktivitas yang sedang berlangsung.
"Boleh kita berbicara sebentar?" Bujuknya santun.
Tiba-tiba,
kejadian aneh terjadi, ketika mata pria botak tersebut melihat kearah
Jeremy. Dengan ligat, pria tersebut berlari pontang-panting menjauhi
Jeremy yang mengejarnya dari belakang.
Belum
berhasil pria tersebut mencapai ke ujung pintu, tangan Jeremy yang
cukup kekar—diusia tuanya tersebut—berhasil menghentikan gerak pria
botak tersebut dengan menggenggam lehernya dari belakang.
"Tolong!
Tolong, lepaskan aku! Aku tak bersalah!" Pinta pria botak tersebut yang
kemudian menangis. "Aku hanya menghirup sedikit saja. Aku tak akan
mengulanginya lagi! Aku berjanji!" Ucap pria itu dengan ekspresi penuh
penyesalan.
Jeremy yang tak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan, langsung menampar pria yang tengah menangis tersedu-sedu tersebut.
"Apa yang sedang kau bicarakan?" Tanyanya tegas, membuat pria botak tersebut bergeming tak mengerti pula.
"Hah?
Aku kira kau agen kepolisian yang ingin menangkapku atas kasus narkoba
yang telah aku curi." Balas pria botak tersebut dengan wajah bingung.
Jeremy yang tak tertarik dengan masalah tersebut, hanya mendengus berat dan juga memutarkan bola matanya.
*****
"Oh begitu!" Ujar pria botak yang bernama Will tersebut, setelah mendengarkan penjelasan masalah dari Jeremy.
"Jadi,
apakah kau mengetahui sedikit banyak tentang kepergian Maria hingga
detik ini?" Tanya Jeremy kembali, hanya untuk memastikan.
"Tidak
sama sekali!" Jawabnya ringan. Jeremy yakin bahwa Will memang tak
terlibat dalam masalah ini. "Lagipula, kami baru saja putus, sehari
sebelum kepergiannya yang sangat misterius ini."
Jeremy kembali berdeham. Ia tahu bahwa kasus kali ini tak akan semudah kasus-kasus yang pernah dipecahkan olehnya sebelumnya.
"Kau
tahu tempat apalagi yang sering dikunjungi olehnya selain tempat ini?"
Tanya Jeremy tak ingin menyerah. "Atau kau tahu siapa saja yang sering
bersamanya akhir-akhir ini?" Tambahnya antusias.
Will
terdiam sejenak, ia masih mencoba berpikir untuk beberapa saat, sampai
dirinya mulai berbicara kembali. "Ia pernah mengajakku untuk berkencan
di sebuah club malam favoritnya dulu, sebelum bar ini dibangun." Jawabnya mantap.
"Dimana letaknya?" Tanya Jeremy kembali. Dirinya merasa sudah mulai dekat dengan latar belakang kasus ini.
"Michigan port Street, di
blok 5 divisi A. Letaknya tak jauh dari kantor pusat FedEx." Jelasnya
secara detail. Jeremy yang merasa sedikit puas, hanya bisa menggelengkan
kepalanya beberapa kali.
"Baiklah. Aku akan mencari tahu mengenai tempat itu." Tukas Jeremy, sembari meneguk tequila miliknya. "Dan, adakah orang lain yang dekat dengan Maria selain dirimu?"
"Aku tak tahu." Jawab
Will dengan mengangkat bahunya. "Tapi—" Ucap pria tersebut, membuat
Jeremy penasaran. "Ia selalu menceritakan tentang seorang pria yang
sering mengganggu hidupnya. Maria pernah menceritakan sekali padaku,
sebelum pria tersebut lenyap ditelan waktu."
Jeremy masih bingung dan kemudian berucap, "Apa hubungannya dengan pertanyaanku?" Tanyanya bingung.
Will yang juga bingung,
lagi-lagi mengangkat bahunya. "Aku pikir hal itu mungkin berhubungan
dengan hilangnya Maria." Balasnya ragu.
"Baiklah. Katakan bagaimana ciri-ciri pria tersebut!" Titah Jeremy dengan wajah yang serius.
"Pria itu memiliki
rambut coklat, dengan retina mata berwarna biru redup—" Jelas Will, ia
masih mencoba mengingat lebih jelas mengenai percakapannya dengan Maria
dulu. "Oh iya, wajahnya berbentuk oval, dengan bibir rata-rata, dan dia—"
Will memotong perkataannya seketika, ketika matanya bertemu dengan mata Jeremy, membuat Jeremy bingung dan juga penasaran.
"Dan?" Tanya Jeremy kembali.
Sedangkan Will hanya
terus terdiam selagi melirik ke arah jam tangannya. Air keringat
tiba-tiba saja mengalir di wajahnya, menggambarkan bahwa ia sedang dalam
keadaan ketakutan.
Melihat sebuah
kecurigaan pada pandangan mata Will, Jeremy segera melirik ke balik
tubuhnya, mencari apa yang sedang dilihat oleh Will, hingga membuat
sikapnya aneh seperti ini.
"Aku harus pulang!" Tutur Will cepat, sembari berlari dengan sangat terburu-buru.
"Baiklah. Selamat tinggal, Will!" Balas Jeremy dengan senyuman yang tak berarti yang terukir di wajahnya. "Dasar anak muda!"
*****
Suara sirine mobil ambulans dan polisi saling bersahut-sahutan, meraung memecah sunyinya malam. Para reporter dan cameramen televisi dan surat kabar lokal juga tak kalah memeriahkan suasana malam yang kelabu tersebut.
"Ada
apa ini?" Tanya Jeremy saat menghampiri beberapa kawanan polisi yang
sedang menjaga garis kuning di depan bar yang dikunjungi olehnya
beberapa jam yang lalu. "Apa yang terjadi disini?"
"Seorang
pria tewas dibunuh dengan cara yang sangat kejam. Lidahnya dipotong,
dan beberapa bagian tubuhnya disayat." Jelas salah satu polisi tersebut.
"Pembunuhannya benar-benar kejam. Psikopat!" Tambah polisi yang lainnya.
Mendengarkan hal tersebut, Jeremy langsung menampilkan ekspresi bingung. "Siapa korbannya?" Tanyanya penasaran.
"Pria lokal, namanya William Smith." Jawab polisi tersebut, membuat Jeremy sangat shock mendengarnya.
Dengan izin dari pihak polisi, atas nama detektif, Jeremy diperbolehkan masuk dan mengecek tragedi tersebut.
"Sial!" Ucap Jeremy lantang ketika dirinya melihat mayat Will yang telah dimasukkan ke dalam kantong kuning tersebut.
"Sir,
kami berharap anda mau membantu kami untuk memecahkan masalah ini."
Pinta seorang polisi dengan hormat. Jeremy hanya mengangguk mengiyakan.
Setelah mayat dibawa oleh ambulans, Jeremy kembali pada misi awalnya untuk menemukan Maria, hidup atau mati.
*****
"Hey, sexy daddy!"
Sapa seorang perempuan dengan pakaian yang sangat minim, yang hanya
menutupi bagian dada hingga hingga pangkal pahanya saja. "Apa yang
sedang kau cari disini? Pemuas?" Tanyanya manja sambil terkikik kecil.
"Aku
sedang mencari wanita yang bernama Rosa. Apakah ia disini?" Tanya balik
Jeremy dengan nada tegas. Ia tak tergoda pada wanita yang sedang
menggeliat pada tubuhnya, sekalipun wanita itu berulang kali menyentuh
bagian intim Jeremy dengan sengaja.
"Oh, Rosa!" Tukas wanita tersebut. "Ia sedang melayani seorang pria. Kau bisa menunggu sejenak disini."
Jeremy
hanya mengangguk, kemudian duduk pada sofa bar tempat prostitusi
tersebut. Ia menunggu Rosa ditemani oleh wanita genit yang bernama Mia
tersebut.
Beberapa
menit menunggu, wanita yang bernama Rosa mulai terlihat sedang berjalan
bersama seorang lelaki muda yang merupakan pelanggan di tempat itu.
Dari
kejauhan, Jeremy melihat pemuda tersebut memberikan Rosa sejumlah uang.
Hingga Mia memanggil Rosa untuk menemui Jeremy yang telah menunggunya.
"Ini dia Rosa!" Tutur Mia ramah, kemudian pamit pergi untuk memberikan mereka waktu berdua. "Aku ke belakang dulu ya!"
Mia
yang merupakan sahabat dekat Rosa, berlari kecil menuju kearah dapur
dengan mengedipkan sebelah matanya, menggoda Rosa yang melempar ekspresi
cemberut yang sangat manis.
"Jeremy Hudson!" Tukas Jeremy, memberikan tangannya pada Rosa yang duduk di sebelahnya.
Rosa kemudian meraih dan menyalami tangan Jeremy. "Rosalina Fernandez!" Balasnya ramah.
"Baiklah, aku merupakan seorang detektif yang sedang memecahkan kasus hilangnya kakakmu, Maria." Ucap Jeremy menjelaskan.
Mendengarkan nama kakaknya yang hilang secara misterius tersebut, membuat air mata Rosa mulai berlinang di kelopak matanya.
"Tolong temukan kakakku! Tolong! Tolong!" Pinta Rosa dengan nada mengemis, membuat Jeremy tertegun.
"Aku
akan berusaha menemukannya. Tenanglah!" Ujar Jeremy untuk menenangkan
diri Rosa. "Yang aku butuhkan saat ini adalah bantuanmu. Apa yang dirimu
ketahui mengenai masalah ini?"
Rosa yang masih terisak, mulai menenangkan dirinya dan menjelaskan sedikit yang dirinya ketahui pada Jeremy.
"Di
malam dirinya menghilang tersebut, ia pamit pergi padaku, karena semua
telah tertidur kecuali diriku." Jelas Rosa. Ia masih mencoba
menghentikan isakannya. "Ia terlihat sangat ketakutan, walaupun dirinya
memberikanku senyuman untuk menutupi perasaannya saat itu."
"Sebelumnya,
ia pernah mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan seorang pria yang
selalu menguntitnya. Tapi ia tak berani untuk membuat laporan pada
polisi karena suatu alasan yang tak perlu diriku ketahui." Sambungnya
secara detail. "Sepertinya hal ini sudah direncanakan sebelumnya, karena
Maria juga mengatakan bahwa suatu hari, diriku akan didatangi oleh
seorang pria seumuran Paman, dan aku yakin dirimu adalah pria yang
dimaksud oleh Maria." Lanjutnya mantap.
"Apakah Maria pernah mengatakan bagaimana ciri-ciri pria tersebut padamu?" Tanya Jeremy menuntut penjelasan.
"Tidak."
Jawab Rosa singkat. "Tetapi, Maria pernah memintaku untuk menjaga suatu
benda. Aku tak mengingat jelas apa yang dikatakan olehnya, apa yang
harus aku lakukan pada benda itu saat bertemu dengan pria tersebut."
Tukas Rosa bimbang.
"Bolehkah diriku melihatnya? Mungkin itu adalah barang bukti atau clue untuk memecahkan misteri ini." Kata Jeremy mantap, membuat Rosa ikut mengangguk.
"Ayo! Benda itu tersimpan di rumahku." Tukas Rosa yang diikuti oleh Jeremy dari belakang.
*****
"Ini
dia!" Ujar Rosa yang telah duduk di sebelah Jeremy yang juga sedang
duduk di kursi penyetir. "Sir, bisakah kau menutup kembali pintu besi
yang terbuka disana? Aku benar-benar tak kuat menutupnya." Ujar Rosa
meminta tolong.
"Huh, baik. Tapi, lindungi benda itu apapun yang terjadi!"
Kemudian
Jeremy bergegas untuk ke pintu besi yang dimaksud, tepat setelah Rosa
mengangguk. Jaraknya lumayan jauh, tepat di sebelah bagasi yang berada
di bagian belakang rumah Rosa.
*****
Perasaan
Rosa yang sedang duduk sendiri di dalam mobilnya mulai tak enak. Ia
merasa ada sesuatu yang memandanginya dari luar mobil, membuatnya dengan
cepat menyembunyikan benda yang dianggap sebagai petunjuk keberadaan
kakaknya tersebut. Sebuah kaset dan buku.
Jantung
Rosa kini berdegup sangat kencang, menanti apa yang mungkin bisa
terjadi saat ini, sebelum Jeremy kembali ke mobil. Ia terlihat begitu
ketakutan, lalu mengunci pintu mobil dari dalam. Ia juga melepaskan
sabuk pengaman mobil yang memeluk tubuhnya untuk berjaga-jaga kalau
tiba-tiba ada yang menyerang dirinya secara mendadak.
Dor!
Sebuah
peluru kini bersarang di otak Rosa, ketika seseorang yang tidak
diketahui, menembak kepala wanita tersebut dari luar mobil, dibalik
jendela.
Setelah
meyakinkan Rosa telah mati, orang misterius tersebut membuka pintu
mobil dan mengambil benda yang masih berisi teka-teki tersebut.
Tak lama kemudian, Jeremy kembali ke mobil tersebut. Ia shock
saat mendapatkan tubuh Rosa yang tidak bernyawa lagi. Jeremy terlihat
begitu menyesal telah meninggalkan Rosa sendiri. Dan kini, ia juga
menyadari bahwa clue atas kasus ini ikut menghilang pula.
Jeremy
yang tidak memiliki waktu lagi, memilih untuk tidak mengubur mayat Rosa
terlebih dahulu, melainkan meletakkan wanita itu di teras rumah
tersebut.
Dengan
terburu-buru, Jeremy melesat kembali ke bar untuk meminta bantuan pada
Mia dalam masalah ini, karena hanya Mia yang dikenal oleh Jeremy saat
ini, juga Mia yang mengetahui hal ini.
*****
"Mia!"
Sapa Jeremy dengan ekspresi cemas pada wanita yang sedang melayani
seorang pria disana. "Rosa tewas ditembak oleh seseorang. Aku tak yakin
bahwa diriku bisa melakukan ini sendirian. Aku butuh bantuanmu!"
Bisiknya tak ingin orang lain mendengar.
Dengan
panik, Mia langsung melesat mengikuti Jeremy dari belakang. Namun,
sebelum mereka pergi, seorang pria menghentikan langkah mereka.
"Hei, kau mau kemana? Kau belum selesai denganku!" Bentak pria tersebut. "Aku sudah membayarmu!"
Dengan
malas, Jeremy memberikan beberapa uang untuk pria yang menjengkelkan
tersebut. "Ambil ini! Kau bisa menyewa 5 wanita sekaligus malam ini."
Setelah kasus terselesaikan, mereka kembali pada tujuan awal dengan bertolak kearah mobil.
Selama di dalam mobil yang melaju begitu kencang, mereka berdua hanya berdiam diri, merasakan suasana panik dan tegang.
Di
kala perjalanan, Jeremy meminta Mia untuk terus menopang tubuhnya
sendiri dengan erat, dikarenakan semua sabuk pengaman di mobil tersebut
telah rusak, kecuali di tempat penyetir berada. Mia mengikuti perintah
tersebut, dan memegang erat jok tempatnya duduk.
Sebenarnya
Mia merasa sangat takut. Bukan karena mobil yang melaju kencang,
melainkan dirinya harus duduk di tempat Rosa mati ditembak. Bahkan darah
Rosa yang belum mengering, masih tertanda disana.
Sedang
serius menyetir, tiba-tiba saja hal naas terjadi, nasib buruk menimpa
diri Jeremy dan Mia. Mobil yang mereka kendarai tersebut hilang kendali,
menabrak jajaran pohon dengan sangat kuat, hingga bagian depan mobil
remuk total dan kaca depan mobil pecah tak tersisa.
Asap
yang keluar dari bagian depan mobil, terlihat samar oleh mata Jeremy
yang kini berkunang. Ia secara perlahan menguatkan diri, namun Mia
sendiri tak terselamatkan dari tragedi tersebut. Kepala wanita itu
menancap pada pecahan kaca, juga tubuh yang remuk akibat membentur sisi
lain mobil.
Dengan
perlahan, Jeremy keluar dari mobil, berjalan tertatih dengan kaki kanan
yang pincang, mengikuti jalan raya yang hanya disinari oleh lampu
jalan.
*****
"Baik,
sir. Kaki Anda sudah terlihat cukup baik sekarang." Ujar seorang
perawat yang baru saja membuka perban yang telah menyelimuti kaki Jeremy
selama beberapa hari.
Setelah
kejadian tersebut, Jeremy memilih untuk beristirahat di rumah sakit.
Lagipula dirinya tak mungkin melanjutkan perjalanan dengan kaki yang
pincang.
"Terima kasih, suster!" Tutur Jeremy datar seperti biasanya.
"Maaf, sir. Tapi, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya suster itu santun, membuat Jeremy berpikir sejenak.
"Apakah engkau Gina Lucas?" Tanya Jeremy menerka.
"Benar! Dari mana Anda tahu?" Tanya balik suster tersebut pada Jeremy.
"Dari badge name yang engkau gunakan." Jawab Jeremy sambil menunjuk benda yang tertera pada bagian dada kiri suster yang bernama Gina tersebut.
Hal itu berhasil membuat Gina tertawa terpingkal. "Jadi kita belum pernah bertemu?" Tanya Gina yang telah kembali serius.
Jeremy
mengangkat bahunya, "Kalau dirimu terikat dengan Maria, model yang
hilang itu, berarti ada kemungkinan kita pernah bertemu." Tukas Jeremy
acuh.
"Oh,
aku mengingatmu!" Ungkap Gina mantap. "Bukankah kau yang pernah bersama
Maria di bar dulu? Tapi itu sudah cukup lama kurasa."
"Benarkah?" Tanya Jeremy menuntut penjelasan.
"Aku
tak yakin. Karena, pria yang bersama Maria dulu terlihat lebih muda dan
segar. Lagipula tubuhnya bagus. Maaf, aku tak bermaksud menyinggung!"
Jelas Gina ragu. Ia merasa Jeremy tak jauh beda dari apa yang ia katakan
tadi, kecuali fakta bahwa diri Jeremy sudah tua saat ini.
"Gina, bisakah aku meminta bantuanmu?" Pinta Jeremy dengan sopan, sedangkan Gina langsung menganggukan kepalanya.
"Aku
membutuhkanmu untuk membantuku mengungkap misteri hilangnya Maria,
karena kau memiliki hubungan dengannya. Maukah kau membantuku?" Tanya
Jeremy lagi untuk memastikan kesediaan Gina untuk membantunya.
"Baiklah!"
*****
Tak berapa lama menunggu, akhirnya shift Gina
berakhir. Wanita itu langsung menemui Jeremy yang telah menunggu
dirinya di lobi. Setelah itu, mereka langsung bertolak menuju ke suatu
tempat yang telah ditetapkan oleh Jeremy, apartemen pribadi milik Maria,
untuk menemukan apa yang bisa dijadikan barang bukti.
Selama di perjalanan, Jeremy sedikit canggung melihat kearah Gina yang terlihat begitu cemas. "Ehmm—" Jeremy berdeham, membuat Gina menatap kearahnya dengan cepat.
"Maaf, kau baik-baik saja?" Tanya Jeremy yang mencoba memberanikan diri untuk membuka percakapan.
Gina tak menjawabnya,
melainkan hanya memberikan anggukan dan juga senyuman yang terlihat
seperti dipaksakan. Sebenarnya Jeremy sedikit curiga dengan wanita itu,
namun dirinya mencoba untuk tak membuat Gina semakin gugup.
*****
Jeremy
menghentikan laju mobilnya di depan sebuah apartemen yang tak
berpenghuni tersebut. Kemudian, ia keluar dari mobil untuk segera
menjalankan misinya. Jeremy juga meminta Gina untuk menunggu sejenak di
dalam mobil, dan mendapat anggukan oleh wanita itu.
Seling menunggu, Gina mencoba menenangkan diri dengan mendengarkan lagu pada ipod miliknya. Karena takut mengganggu keheningan malam, Gina memilih untuk membongkar isi mobil tersebut, mencari sebuah earphone.
Lelah
mencari, ia tak dapat menemukan apapun, selain satu keping kaset dan
buku tua yang tebal. Karena ada sedikit pertanyaan yang melayang di
pikirannya, Gina langsung memasukkan benda tersebut ke dalam tasnya.
Belum
genap sepuluh menit Jeremy keluar dari mobil, Gina sendiri mulai merasa
khawatir tak tahu kenapa. Secara perlahan, wanita itu keluar dan
bersembunyi di balik semak yang tak jauh dari mobil. Ia benar-benar
merasakan ada sesuatu yang tak baik akan terjadi.
Tak
lama kemudian, Gina melihat sesosok orang yang menggunakan pakaian
serba gelap, berjalan menuju ke arah mobil. Orang itu berjalan dengan
sangat pelan dan hati-hati, bersama sebuah pistol di genggamannya.
Melihat
itu, Gina langsung menutup mulutnya dengan rapat, sedangkan air matanya
mulai mengalir. Ia membayangkan bagaimana nasibnya bila ia tak keluar
dari mobil itu tadinya.
Kini
orang tersebut terlihat bingung dengan melirik kearah kanan dan kiri,
membuat Gina curiga. Sepertinya, hal ini telah direncanakan sebelumnya,
dan bisa saja orang itu telah mengikuti mobil mereka sedari tadi.
Karena
tak menemukan siapapun di dalam mobil, orang tersebut berlari menjauh,
menghilang dalam kegelapan malam. Sedangkan Gina, ia mulai melangkah
menuju ke dalam gedung apartemen tersebut, untuk menemui Jeremy yang
belum juga kembali.
Sesampainya
di ruangan milik Maria dulu, Gina bertemu dengan Jeremy yang sedang
mencari sesuatu. Wanita itu tak dapat menahan air matanya, lalu memeluk
tubuh Jeremy dari belakang.
"Gina? Ada apa?" Tanya Jeremy yang terkejut saat mendapati Gina menangis dibalik tubuhnya.
Dengan
menyisakan isakan, Gina menceritakan kronologi apa yang baru saja
terjadi padanya. "Sepertinya, hal itu telah terencana dan orang itu
memang mengincarku!" Ujar Gina yang masih terbalut dalam dekapan Jeremy.
"Anak pintar!" Ucap Jeremy dengan suaranya yang berat, membuatku Gina bingung.
Dengan
cepat, Gina menatap kearah Jeremy yang terkikik, yang berhasil membuat
wanita itu ketakutan. Kini, di hadapannya, sebuah pistol telah menganga
tepat di tengah dahi Gina.
"Aku
memang sudah merencanakan hal ini sebelumnya," Ungkap Jeremy dengan
tawa jahatnya. "Dengan sangat matang tentunya!" Sambungnya
mengintimidasi.
Gina
menangis selagi pelatuk pistol mulai ditarik oleh Jeremy, ia hanya bisa
berdoa, berharap pria yang berdiri di hadapannya bukanlah psikopat yang
akan memotong tubuhnya nanti.
Ahh—
Tiba-tiba
saja tubuh Gina terlepas dari Jeremy. Ia melihat pria tersebut menjauh
darinya sambil mengusap kepalanya. Gina baru menyadari bahwa ada
seseorang yang baru saja memukul kepala Jeremy dengan balok kayu.
"Gina,
cepat lari!" Perintah seorang wanita yang sudah berada di tengah anak
tangga, membuat suster tersebut terkejut, ia benar-benar tak menyangka
dengan apa yang dilihatnya. Namun, Gina masih tetap ikut berlari
mengejar wanita tadi.
Belum
tiba Gina mendekat pada wanita yang kini telah tiba di pucuk tangga,
tiba-tiba seseorang menarik rambutnya dengan kuat, membuat suster
tersebut jatuh terpelanting ke dasar tangga.
Kemudian,
Jeremy—orang yang menarik rambut Gina tadi—langsung menginjak tubuh
Gina dan memukul wanita tersebut berkali-kali tanpa ampun, hingga sebuah
vas bunga terlempar dari lantai atas dan pecah mengenai kepala Jeremy
yang langsung mengalirkan darah segar.
Gina
yang kesakitan terus mencoba keberuntungan dengan kembali berlari
tertatih menuju ke pucuk tangga. Ia berterima kasih pada wanita
tersebut karena telah menyelamatkan dirinya.
Tinggal
beberapa anak tangga lagi untuk tiba di lantai atas, Jeremy kembali
menarik kaki Gina dengan penuh tenaga, membuat wanita tersebut
terpelosot dengan posisi telungkup hingga ke dasar, membuat suster itu
tak sadarkan diri.
Kini
Jeremy tak ingin repot-repot menghancurkan Gina yang bahkan sudah tak
memiliki tenaga lagi, ia hanya memilih untuk mengejar wanita yang memang
menjadi incarannya selama ini.
Maria!
Wanita yang berada di lantai atas itu adalah Maria, si model yang
menghilang secara misterius tersebut. Tak disangka bahwa selama ini
dirinya bersembunyi di apartemen ini. Dan kini waktunya bagi Jeremy
untuk membalaskan dendam pada model tersebut.
Melihat
Jeremy yang semakin mendekat, Maria langsung berlari ke sebuah kamar.
Ia terlihat sangat ketakutan. Tak ada yang bisa dilakukan olehnya di
ruangan tersebut, kecuali mencari tempat sembunyi yang aman.
Di dalam sebuah lemari yang lumayan besar, Maria bersembunyi dalam diam. Doanya berharap Jeremy tak mengecek ruangan ini.
*****
Suasana
begitu tenang selama beberapa menit, tak ada suara sama sekali, baik
dari Jeremy, maupun Gina. Suasana seperti itu lebih menakutkan bagi
Maria, dibanding harus mendengar langsung suara penjahat yang sedang
mengejar dirinya.
Tanpa
ada suara langkah maupun tanda apapun, tiba-tiba pintu lemari tempat
Maria bersembunyi hancur. Sepertinya Jeremy telah mengetahui tempat
persembunyian wanita itu.
Tanpa rasa iba, Jeremy menarik rambut Maria hingga wanita itu meringis
dan keluar dari lemari tersebut. Jeremy juga tak segan membanting tubuh
Maria ke tembok, membuat tulang wanita itu terasa sangat nyeri.
Belum
sempat Maria menyadari apa yang baru saja terjadi, tangan Jeremy telah
menamparnya dengan sangat kuat, hingga hidung wanita itu mengeluarkan
darah.
Maria
yang tak kuat lagi, hanya bisa mengeluarkan air mata tanpa menyuarakan
isakan pada tangisnya. Kemudian, Jeremy mengangkat tubuh wanita tersebut
dan mengikatnya dengan posisi terduduk di atas kursi.
"Maria!"
Tutur Jeremy dengan suara tenang, namun dengan nada yang ditekan. Ia
menarik rambut Maria, hingga wajah wanita itu searah dengan wajahnya.
Kini,
Jeremy telah berubah menjadi monster yang benar-benar tak memiliki rasa
iba sama sekali terhadap wanita yang wajahnya telah rusak tersebut.
"Kau adalah iblis yang menjelma menjadi seorang wanita cantik."
Dengan tergagap, Maria mencoba berbicara. "Je-rry... A-ku me-mencintai-mu... A-ku—" Ucapnya terbata.
"Ssssht—" Potong Jeremy dengan menegakkan jari telunjuknya di depan mulut Maria. "Aku juga mencintaimu. Tenanglah!"
"Sekarang
biarkan aku menyelesaikan tugasku! Aku akan memotong tubuhmu dan
mengambil jantungmu. Aku mau membuktikan apakah kau benar mencintaiku.
Aku juga akan mengambil otakmu dan mengecek apakah aku ada di
pikiranmu." Terang Jeremy sambil tertawa kecil. Alhasil, Maria langsung
lemas mendengarnya.
"Ke-napa k-kau mela-kukan i-ni?" Tanya Maria yang semakin tak kuasa menahan rasa sakitnya.
"Mengapa aku melakukan ini!!?" Ucap Jeremy mengulangi pertanyaan Maria. "Lucu sekali pertanyaanmu!!"
Uhukk Uhukk....
"Biarkan
aku menjelaskan semuanya, agar matiku tak sia-sia bagimu." Pinta Maria
untuk yang terakhir kalinya. Jeremy hanya terdiam, memberikan tanda
untuk mempersilahkan wanita itu berbicara.
"Saat
pertama kali aku melihatmu, diriku begitu kagum padamu. Aku tak pernah
membayangkan seorang gadis 18 tahun sepertiku akan mencintai seorang
pria 44 tahun sepertimu, bahkan hingga saat ini, 10 tahun lamanya.
Aku
mencintai setiap apa yang engkau cintai dan membenci setiap apa yang
engkau benci. Aku hidup dibalik tubuhmu, memastikan kau akan selalu baik
saja. Maka dari itu, aku tak kuasa menahan gemelut amarahku waktu itu.
Maafkan aku, aku tak pernah berniat membuatmu ditahan dulu.
Setelah
aku mendengar masalahmu dengan seorang polisi, aku sengaja
mengundangnya untuk berkencan denganku. Siapa yang tak ingin berkencan
dengan model cantik sepertiku? Setelah itu, ketika ia sedang lengah, aku
menjalankan misiku dengan cepat mengikatnya. Waktu itu aku meneleponmu
untuk datang, agar kita berdua bisa menyiksanya bersama. Namun, entah
bagaimana polisi itu berhasil lepas dan mencoba menyerangku. Untuk
melindungi diri, aku refleks menembaknya beberapa kali dengan pistol
yang sedang aku pegang.
Disana,
aku tak menyangka bahwa kau akan tiba saat aku sedang mandi. Dan
bodohnya, kau menyentuh pistol itu. Aku juga tak menyangka bahwa
rombongan polisi datang dengan cepat dan menangkapmu karena sidik jarimu
yang tercetak pada pistol tersebut, membuatmu dipecat dari pekerjaanmu
dan ditahan selama beberapa tahun." Jelas Maria panjang lebar, membuat
Jeremy menggertakkan giginya geram.
"Jelaskan alasanmu membunuh istri dan putraku!" Tuntut Jeremy tegas.
"Seperti yang aku katakan tadi, aku akan membenci apa yang kau benci. Dan aku tau bahwa kau membenci istrimu dan anak haram itu!
Saat
kau di penjara, aku meminta bantuan Will, mantan kekasihku, untuk
membunuh istri jalangmu yang selingkuh di belakangmu. Belum lagi si
jalang itu mengandung anak haram dari selingkuhannya dan membebankan hal
itu padamu.
Aku
hanya tak ingin si jalang itu kembali menyakitimu. Aku juga tak ingin
anak haram itu tumbuh seperti orangtuanya, tukang selingkuh. Seperti
ayahnya, tukang perkosa yang tak bertanggungjawab. Jadi aku dan Will
membunuh mereka berdua!" Tutur Maria dengan tenang.
Kini,
Jeremy hanya bisa terdiam, memegang kepalanya yang terasa nyeri dan
berdenyut-denyut. Ia tak menyangka adanya kebaikan terhadapnya dibalik
semua yang dilakukan oleh Maria.
"Maaf
waktu itu aku pergi meninggalkanmu! Aku harus mencoba menenangkan
diriku terlebih dahulu." Sambung Maria dengan penuh penyesalan.
"Akhirnya, aku bisa mengungkapkan semua ini padamu!"
Dengan
air mata yang berlinang di kelopak matanya, Jeremy langsung membuka
ikatan yang menempel pada tubuh Maria. Pria itu langsung memeluk erat
tubuh wanita yang terlihat sangat buruk tersebut.
"Maafkan
aku, Maria!" Ucap Jeremy dengan perasaan sedih yang menyelimuti
dirinya. "Aku telah membunuh orang-orang yang dekat denganmu sebagai
pelampiasan!"
Maria
langsung menatap Jeremy dengan tatapan penuh intimidasi, menuntut
penjelasan mengenai apa yang dimaksud oleh pria tersebut.
"Aku
telah membunuh Will dan Rosa, sebagai balasan terhadap kematian istri
dan anakku. Aku membunuh Will karena ia mulai mengetahui bahwa diriku
merupakan pria yang sedang mengincarmu. Sedangkan Rosa, dia memiliki
sebuah benda yang aku takut, merupakan barang bukti bahwa diriku yang
menguntitmu selama ini." Jelas Jeremy yang hanya dibalaskan dengan
ekspresi sedih oleh Maria.
"Aku
juga telah membunuh Mia, sahabat adikmu yang mengetahui bahwa diriku
dan adikmu pergi bersama untuk terakhir kalinya. Dan juga, dirinya
merupakan keponakan dari pelacur yang telah menghancurkan keluarga
kakakku, Tim. Bibinya itu telah mengirimkan foto sex mereka saat
Tim sedang mabuk dulu, pada istri Tim, hingga kakak iparku tersebut
terkena serangan jantung dan meninggal dunia bersama anak yang dikandung
olehnya." Tambah Jeremy dengan nada yang antara marah dan menyesal.
"Dan mengapa kau membawa Gina kesini?" Tanya Maria yang mulai penasaran.
Sebelum Jeremy menjawab,
ia menghirup nafas panjang terlebih dahulu. "Ia adalah anak dari pria
yang menjadi selingkuhan istriku. Ayahnya merupakan guru piano Tina
dulu." Ucap Jeremy malas, membuat Maria tercengang kaget.
"Mengapa kau tak membunuhnya?" Saran Maria cepat, tanpa mau berfikir panjang.
"Ia benar-benar pintar.
Aku tak menyangka bahwa dirinya telah keluar dari mobil sebelum aku
kembali untuk membunuhnya." Jawab Jeremy. "Lagipula, kau telah
mengacaukan rencanaku untuk menembak kepalanya, dengan memukul kepalaku
menggunakan balok kayu." Lanjutnya ketus.
Maria hanya tersenyum malu dan meminta maaf, karena ia tak mengetahui mengenai rencana itu sebelumnya.
"Aku ingin bertanya, bagaimana caramu membunuh Will, Mia dan Rosa?" Tanya Maria dengan serius.
"Will, aku hanya menyiksa sebentar, lalu memotong lidahnya dengan cutter.
Mia, aku secara sengaja menabrakkan mobilku hingga menyebabkan ia
tewas. Ini sangat sulit, aku bisa saja mati saat insiden tersebut aku
lakukan." Jelasnya panjang lebar. "Dan Rosa, aku membunuh adikmu dengan
cepat dan tak menyiksa perempuan itu. Aku menembak kepalanya dengan
pistol."
Maria hanya mengangguk dan tersenyum, walaupun beberapa tetes air mata telah berlinang di pelupuk matanya.
"Oh iya, aku ingin tahu mengenai kaset yang kau titipkan pada Rosa itu!" Ujar Jeremy dengan nada meminta.
Maria kemudian
menyunggingkan senyum penuh arti. "Tontonlah! Sebenarnya aku membuatnya
khusus untukmu. Rekaman itu cocok untuk ditonton di suasana seperti
ini." Tukas Maria masih dengan senyum.
Mendengarkan hal
tersebut, membuat Jeremy bergeming. Pria tersebut langsung bertolak
menuju ke mobilnya. Namun ia tak menemukan apapun disana. Kemudian
timbul rasa curiga terhadap Gina yang mungkin telah mengambilnya secara
sengaja.
Sesampainya di ruangan,
Jeremy langsung mencari keberadaan benda tersebut dan menemukannya di
dalam tas milik Gina. Kemudian ia mulai beranjak, dan tak lupa mengikat
erat tubuh Gina di atas kursi yang berada di dekat jendela.
*****
"Ini dia!" Tukas Jeremy
yang langsung memutar kaset tersebut. Sedangkan Maria sedang duduk di
tepi kasur untuk ikut menyaksikannya bersama Jeremy.
Ketika video itu
dimulai, Jeremy langsung mengerutkan dahinya. Rekaman tersebut dibuka
dengan diri Maria yang sedang tersenyum mengarah ke kamera sambil
memainkan sebuah pistol. Ia tertawa penuh makna dan kemudian mengarahkan
pistol itu kearah kamera, membuat Jeremy semakin bingung.
Dor!
Semua berjalan begitu
cepat sebelum suara tembakan dari rekaman itu terasa begitu nyata.
Jeremy baru dapat menyadari apa yang sebenarnya terjadi setelah
pikirannya berhasil menelaah dalam waktu beberapa detik. Jeremy
merasakan nyeri yang begitu dahsyat di beberapa bagian tubuhnya.
"Ternyata aku berbakat juga dalam hal akting, bukan begitu Jerry?" Tanya Maria dengan nada mengejek.
Kini tubuh Jeremy
terkulai lemah, hanya bertumpu pada Maria yang sedang memberikan tawa
iblisnya pada pria yang pernah dicintainya tersebut.
"Ter-terkutuk-lah k-kau,
iblis!" Ketus Jeremy terbata, ia tak bisa melakukan apapun saat ini,
kecuali mengucapkan segala sumpah serapah terhadap Maria.
"Ini hanya balasan kecil dari adikku, Rosa hahahaha..." Tawa Maria diikuti dengan belaian tangannya pada wajah Jeremy.
Dengan bibir yang masih
tersenyum, Maria menciumi bibir Jeremy, hingga beberapa menit, ketika
nyawa pria itu menghilang bersama darah yang keluar dari bagian tubuhnya
yang ditembak oleh Maria beberapa kali.
"Selesai!"
Dengan melenggak puas,
Maria berjalan keluar ruangan dan menuruni anak tangga, menuju ke lantai
bawah. Disana, Maria tersenyum sinis ketika dirinya menemukan diri Gina
yang telah terikat di atas kursi yang berada di dekat jendela. Kini
suster tersebut telah sadarkan diri, meringis dan mulai meronta,
mengharapkan bantuan dari Maria yang berada di hadapannya.
"Oh, jadi ini dia anak
dari pria jahanam yang menjadi awal dari kehancuran ini!" Ujar Maria
ketus, sambil mendekati Gina yang kini malah merasa takut.
"Hai, Gina!" Sapa Maria
ramah. Ia mulai memainkan kursi tempat dimana Gina duduk sambil tak
hentinya menangis. "Ada apa denganmu? Kau tak ingin aku membantumu?"
Tanya Maria kesal.
Entah apa yang
direncanakan oleh Maria saat ini, hingga dirinya dengan baik, mencoba
melepaskan ikatan Gina tersebut. Namun, sebelum itu, ia meminta Gina
terlebih dahulu memegang pistolnya, selagi Maria membantu menyingkirkan
tali yang hinggap pada tubuh Gina.
Setelah ikatan itu
terlepas, Gina dengan cepat mengarahkan pistol tersebut pada kepala
Maria yang tampak sangat tenang, tak takut sama sekali. Getaran tangan
Gina bahkan terlihat dengan jelas di mata Maria, menyatakan ini
merupakan kali pertamanya suster itu memegang senjata.
Clakk! Clakk!
Tak terpikirkan oleh
Gina sebelumnya bahwa pistol yang baru saja ditarik pelatuknya itu, tak
berisi peluru sama sekali. Maka dari itu Maria terlihat sangat tenang
akan hal yang harusnya bisa membunuhnya itu.
"Ya Tuhan, Gina! Kau mau
mencoba membunuhku? Tega sekali!" Ucap Maria dengan begitu
mendramatisir keadaan, seakan dirinya yang sedang sedih saat ini.
"Hahahaha... Bodoh!" Tawa Maria jahat.
Kini, Gina semakin
terlihat ketakutan terhadap diri sahabatnya tersebut. Ia mundur secara
perlahan, hingga terhenti ketika kakinya menginjak tepat di garis
jendela ruangan yang berada di lantai 6 tersebut.
"Sebenarnya, aku ingin
dan bisa saja mendorongmu keluar dan membuat segalanya berjalan dengan
cepat. Kau tak akan tersiksa!" Kata Maria mantap. "Tapi aku tak mau
membunuh orang tanpa memberitahukan alasanku untuk melenyapkan dirinya
terlebih dahulu. Aku tak mau berurusan dengan arwah penasaran yang akan
mengganggu kehidupanku nantinya!" Ucapnya penuh canda meledek.
Gina tak ingin
menanyakan sesuatu atas pernyataan tersebut, melainkan hanya bisa
terisak tanpa henti. Ia tak pernah menyangka bahwa ia akan segera mati
di tangan sahabatnya sendiri.
"Kau pernah mendengar
cerita bahwa ayahmu itu telah berselingkuh dengan murid di kelas piano
yang diajarnya? Belum? Baiklah, aku akan menjelaskan hal itu
secara singkat!" Tukas Maria, memulai pembicaraan tersebut. "Jadi,
ayahmu melakukan hubungan intim dengan muridnya, yang tak lain adalah
istri dari Jeremy. Namun, ayahmu tak mau mempertanggungjawabkan hal
tersebut. Ok, selesai! Bye!"
Tanpa disangka, Maria
langsung mendorong tubuh Gina dengan cepat keluar jendela. Maria sendiri
tertawa puas saat melihat hasil kerjanya tersebut. Namun, ia
mendapatkan tantangan baru kali ini, yang mana tangan Gina masih kuat
bertumpu pada tepi jendela ruangan tersebut.
"Maria, tolong aku!
Tolong, aku mohon!" Tangis Gina mengemis iba, selagi tangannya bergetar
karena tak yakin dapat memopang tubuhnya lebih lama lagi.
"Baiklah!" Balas Maria yang langsung memijak tangan Gina dengan high heels merah yang sedang digunakan olehnya. "Aku akan membantumu, Gina! Membantu mempercepat hilangnya rasa sakitmu!"
Kini, tangan Gina yang
semakin melemah, tak memiliki pilihan lain, selain melepaskan pegangan
tersebut. Pula, pijakan yang diberikan oleh kaki Maria begitu
menyakiti jari-jemarinya, memaksa dirinya untuk menyerah.
Melihat kondisi Gina saat ini, membuat Maria tertawa bahagia. "Selamat tinggal, Gina!" Ucapnya dengan manja.
"Ikutlah denganku!" Ucap Gina dengan suara berat.
"Tidaaaaaaak!!!"
Tak disangka, ternyata
Gina memang merupakan seorang wanita yang sangat pintar, dan bahkan
cerdik. Sebelum ia terjatuh, Gina sempat menarik kaki Maria, hingga
mereka berdua terjatuh ke bawah secara bersamaan. Menyisakan keheningan
malam dan tanah berembun yang terolesi oleh darah dari tubuh yang remuk
tersebut.
Kini, semua bukti sudah
lenyap tak tersisa. Mungkin hanya akan ada tanda tanya yang tersisa,
yang akan terbawa hingga akhir dunia.
*****
"Sir, sir, tolong jelaskan kronologi kasus ini!!"
Puluhan
wartawan dan reporter tak hentinya mengejar langkah cepat seorang pria
dari kepolisian yang bernama Carroll Newton tersebut.
Para
wartawan dan reporter menuntut pihak kepolisian untuk buka mulut dan
menjelaskan secara rinci mengenai peristiwa ini. Namun, sang ketua
kepolisian sendiri memilih untuk bungkam, hingga kasus ini benar-benar
usai diselidiki.
Kini,
ketua kepolisian tersebut memasuki ruangan yang telah dipenuhi oleh
beberapa anggota polisi yang siaga bertugas menyelidiki kasus complex ini.
"Entah
bagaimana ini bisa terjadi!?" Ucap pria itu ketus. Ia berhasil membuat
semua bawahannya terkejut dengan gebrakan meja yang dilakukannya.
"Lihat!
Maria yang menghilang, ditemukan tewas semalam, bersama sahabatnya,
seorang suster yang bernama Gina yang juga baru menyelesaikan shift nya
semalam. Apakah mungkin wanita yang terkenal sangat baik itu pelakunya?
Tidak! Tidak ada bukti nyata maupun logis disini!" Ungkap Carroll
geram.
Ketua
kepolisian itu terus mencoba untuk menenangkan diri, namun selalu gagal
karena ini merupakan kasus terumit yang pernah mereka selidiki.
"Pula,
pria yang merupakan mantan agen rahasia itu, ditemukan tewas di ruangan
pada apartemen yang sama. Mungkin dia pembunuh tersebut? Belum tentu!
Kirim tidak memiliki bukti!" Sambung Carroll ketus. "Bagaimana kita akan
menyelidiki kejadian ini tanpa saksi mata ataupun barang bukti?" Tambah
pria itu kesal sendiri. "Pula, disana tak ada orang maupun cctv yang aktif. Dan kaset yang menjadi satu-satunya barang bukti, telah dihancurkan berkeping-keping oleh si pelaku!"
"Tenang, sir!"
"Diam!!!"
Pekik pria itu pada bawahannya yang ingin menenangkan dirinya. "Aku tak
bisa tenang! Apalagi aku meyakini bahwa kematian seorang pria di bar
waktu itu, penemuan jasad wanita yang tertembak di kepala dan wanita
yang tewas dalam mobil itu ada hubungannya dengan ini semua, mengingat
mereka juga rekan keluarga Maria!" Sambung kepala polisi tersebut.
"Sir,
apa mungkin mereka membunuh satu sama lain sebagai aksi balas dendam?
Maksudku, mungkin satu dari mereka memiliki dendam lama yang dibalaskan
ke rekan korban terlebih dahulu." Timpal salah satu anggota polisi baru
yang bernama Edward tersebut.
"Jelaskan lagi!" Titah Carroll yang tertarik dengan teori tersebut, begitu pula anggota lainnya.
"Mungkinkah
si model tersebut pernah membunuh rekan atau keluarga pria itu? Dan
pria tersebut sengaja mencari model itu untuk membalaskan dendam. Pria
itu juga membunuh rekan dan keluarga si model sebagai pelampiasan atas
masa lalu si pria tersebut(?)" Ujarnya memperjelas teori tersebut.
Setelah
mendengar dan mengasup penjelasan dari Edward tersebut, semua anggota
polisi dapat meyakinkan diri bahwa teori Edward tentang hilangnya model
tersebut adalah benar dan rinci.
"Teori yang unik." Caroll bergumam sambil menganggukkan kepalanya. "Dan juga aneh."
***The Theory : Lost of the Model***