Minggu, 19 Juni 2016

The Theory : Lost of the Model

Standard
"Baiklah—" Ujar seorang pria dengan badge name bertuliskan Carroll Newton yang melekat pada seragam polisi yang dikenakan olehnya. Ia terlihat resah dengan wajah sayu, terlihat tak mempunyai pilihan sama sekali. "Kasus ini ditutup!" 

Ruangan yang bercahayakan sinar redup tersebut berubah menjadi riuh, setelah sebelumnya diselimuti keheningan dan suasana yang kondusif—sedikit mencekam.

Para polisi lainnya, bersama beberapa oknum dan detektif yang mengikuti rapat besar tersebut, semua saling mengeluarkan argumen masing-masing yang membuat suasana menjadi sangat kacau. 

"Tenang! Harap tenang!" Ucap Carroll tegas, menghentikan segala aksi yang sedang terjadi. Ia melemparkan tatapan yang begitu mengintimidasi. "Kita sudah selesai disini!" 

Semua oknum yang semula terdiam, kini satu diantaranya mengangkat tangan. Carroll yang awalnya berniat untuk mengacuhkan pria tersebut, hanya bisa mendengus, mengalah untuk mendengarkan argumen apa yang akan diberikan oleh pria tersebut. 

"Aku akan menyelidiki kasus ini seorang diri!" Tukas pria tersebut dengan mantap, membuat semua oknum memandang kearahnya dengan ekspresi tanda tak percaya.

"Apa kau sudah gila?" Balas Carroll dengan nada penuh emosi. "Apapun yang nantinya akan terjadi padamu, pasti akan menjadi tanggung jawab kepolis—" 

"Kalau begitu, aku akan melepaskan kewarganegaraanku!" Tuturnya yang semakin tenang. Pria tersebut berhasil membuat semua orang shock mendengarnya. "Keputusanku sudah bulat. Terima kasih atas waktunya!" Tambah pria tersebut. 

Pria tersebut hanya menampakkan ekspresi yang begitu datar, tak jauh dari foto yang tertera pada passcard yang menggantung dengan tali panjang di lehernya. 

Jeremy Hudson. Itulah nama pria yang menjadi sorot pandang semua orang, selagi kakinya melangkah pergi dari ruangan tersebut. 

*****

"Kepolisian akan mencari barang bukti dan saksi mata hari ini, sebelum menutup kasus hilangnya Maria esok hari..."

"Berita hari ini tak memuaskanku sama sekali!" Tukas seorang pria yang berbadan besar, sembari menyeruput kopi hitamnya. Ia kemudian terdiam ketika matanya mendapatkan diri seorang pria lainnya yang sedang berbenah. 

"Jerry!" Sapanya pada pria yang bernama lengkap Jeremy Hudson tersebut, membuat pria itu terhenti dari aktivitasnya dan menatap balik pria yang memanggil namanya tersebut. "Apa yang sedang kau lakukan?" Tanyanya penasaran. 

"Oh, hey Tim. Aku sedang bersiap-siap untuk menyelidiki kasus hilangnya Maria. Aku akan pergi seorang diri. Kita tak dapat mengandalkan kinerja polisi di negara ini. Oleh karena itu, aku melepaskan kewarganegaraanku untuk melakukan hal ini." Jawab Jeremy panjang lebar, sedangkan tangannya masih sibuk berbenah. 

Pria yang bernama Tim tersebut tercengang. "Jerry, aku tak tau apa yang kau bicarakan. Kau sudah pensiun dari pekerjaanmu. Bersantailah! Habiskan waktu tuamu untuk hal ringan, bukan dengan pekerjaan bodoh itu." Timpal Tim yang tak setuju dengan apa yang akan dilakukan oleh adik, sekaligus mantan rekan kerjanya tersebut. 

"Keputusanku sudah bulat." Jawab Jeremy yang kini sudah siap untuk memulai misinya. "Doakan saja yang terbaik untuk diriku." 

Tim hanya berkecak pinggang, sementara adiknya itu telah melemparkan senyumnya, lalu menghilang di balik pintu rumah kayu jati minimalis yang sudah menjadi tempat mereka menetap selama beberapa tahun terakhir.

*****

Lampu redup dengan berbagai warna, berkelap-kelip menghiasi ruangan yang dipenuhi oleh puluhan manusia yang sedang berpesta. Disana juga terlihat outlet yang dipenuhi berbagai macam bir pada seluruh raknya.

Jeremy duduk di sebuah kursi tinggi pada outlet bar tersebut, memesan segelas wine. Mata pria itu terus memandang ke seluruh sudut ruangan tersebut, layaknya sedang mencari sesuatu. 

"Hei, kau tahu Maria? Model yang sering datang kesini?" Tanya Jeremy pada pria yang merupakan barista bar tersebut. 

"Iya, aku mengenal wanita itu. Dirinya sangat cantik!" Jawab pria tersebut, sembari memberikan segelas wine pada Jeremy. "Ia selalu datang kesini setiap malam. Tepat sebelum hari dirinya dikabarkan menghilang." Tambahnya. 

Jeremy berdeham, mencoba memahami masalah tersebut dengan teliti. Dalam diamnya, ia teringat akan sesuatu, kemudian menampilkan selembar foto pada pelayan tersebut. "Kau mengenal pria ini?" Tanyanya tegas. 

Pelayan tersebut menelaah foto itu sejenak. "Ya." Jawabnya singkat, namun masih dengan wajah bingung.

"Bisakah aku bertemu dengannya?" Tanya Jeremy penuh harap, yang terbalas dengan keberadaan orang yang dicarinya tersebut.

Jeremy berjalan santai kearah sofa merah yang sangat besar yang berada di pojok ruangan. Disanalah orang yang ia cari berada, bersama tiga orang wanita yang berpakaian minim mengelilingi tubuhnya. 

Pria botak berkulit coklat gelap tersebut menggunakan setelan singlet putih dan celana jeans hitam. Terlihat seperti pria berandalan yang memang sedang menjadi hits di kota ini. 

"Permisi!" Tutur Jeremy ramah, menghentikan aktivitas yang sedang berlangsung. "Boleh kita berbicara sebentar?" Bujuknya santun. 

Tiba-tiba, kejadian aneh terjadi, ketika mata pria botak tersebut melihat kearah Jeremy. Dengan ligat, pria tersebut berlari pontang-panting menjauhi Jeremy yang mengejarnya dari belakang. 

Belum berhasil pria tersebut mencapai ke ujung pintu, tangan Jeremy yang cukup kekar—diusia tuanya tersebut—berhasil menghentikan gerak pria botak tersebut dengan menggenggam lehernya dari belakang. 

"Tolong! Tolong, lepaskan aku! Aku tak bersalah!" Pinta pria botak tersebut yang kemudian menangis. "Aku hanya menghirup sedikit saja. Aku tak akan mengulanginya lagi! Aku berjanji!" Ucap pria itu dengan ekspresi penuh penyesalan. 

Jeremy yang tak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan, langsung menampar pria yang tengah menangis tersedu-sedu tersebut. 

"Apa yang sedang kau bicarakan?" Tanyanya tegas, membuat pria botak tersebut bergeming tak mengerti pula. 

"Hah? Aku kira kau agen kepolisian yang ingin menangkapku atas kasus narkoba yang telah aku curi." Balas pria botak tersebut dengan wajah bingung. 

Jeremy yang tak tertarik dengan masalah tersebut, hanya mendengus berat dan juga memutarkan bola matanya. 

*****

"Oh begitu!" Ujar pria botak yang bernama Will tersebut, setelah mendengarkan penjelasan masalah dari Jeremy. 

"Jadi, apakah kau mengetahui sedikit banyak tentang kepergian Maria hingga detik ini?" Tanya Jeremy kembali, hanya untuk memastikan. 

"Tidak sama sekali!" Jawabnya ringan. Jeremy yakin bahwa Will memang tak terlibat dalam masalah ini. "Lagipula, kami baru saja putus, sehari sebelum kepergiannya yang sangat misterius ini." 

Jeremy kembali berdeham. Ia tahu bahwa kasus kali ini tak akan semudah kasus-kasus yang pernah dipecahkan olehnya sebelumnya. 

"Kau tahu tempat apalagi yang sering dikunjungi olehnya selain tempat ini?" Tanya Jeremy tak ingin menyerah. "Atau kau tahu siapa saja yang sering bersamanya akhir-akhir ini?" Tambahnya antusias. 

Will terdiam sejenak, ia masih mencoba berpikir untuk beberapa saat, sampai dirinya mulai berbicara kembali. "Ia pernah mengajakku untuk berkencan di sebuah club malam favoritnya dulu, sebelum bar ini dibangun." Jawabnya mantap. 

"Dimana letaknya?" Tanya Jeremy kembali. Dirinya merasa sudah mulai dekat dengan latar belakang kasus ini.

"Michigan port Street, di blok 5 divisi A. Letaknya tak jauh dari kantor pusat FedEx." Jelasnya secara detail. Jeremy yang merasa sedikit puas, hanya bisa menggelengkan kepalanya beberapa kali. 

"Baiklah. Aku akan mencari tahu mengenai tempat itu." Tukas Jeremy, sembari meneguk tequila miliknya. "Dan, adakah orang lain yang dekat dengan Maria selain dirimu?" 

"Aku tak tahu." Jawab Will dengan mengangkat bahunya. "Tapi—" Ucap pria tersebut, membuat Jeremy penasaran. "Ia selalu menceritakan tentang seorang pria yang sering mengganggu hidupnya. Maria pernah menceritakan sekali padaku, sebelum pria tersebut lenyap ditelan waktu." 

Jeremy masih bingung dan kemudian berucap, "Apa hubungannya dengan pertanyaanku?" Tanyanya bingung.

Will yang juga bingung, lagi-lagi mengangkat bahunya. "Aku pikir hal itu mungkin berhubungan dengan hilangnya Maria." Balasnya ragu. 

"Baiklah. Katakan bagaimana ciri-ciri pria tersebut!" Titah Jeremy dengan wajah yang serius. 

"Pria itu memiliki rambut coklat, dengan retina mata berwarna biru redup—" Jelas Will, ia masih mencoba mengingat lebih jelas mengenai percakapannya dengan Maria dulu. "Oh iya, wajahnya berbentuk oval, dengan bibir rata-rata, dan dia—" 

Will memotong perkataannya seketika, ketika matanya bertemu dengan mata Jeremy, membuat Jeremy bingung dan juga penasaran. 

"Dan?" Tanya Jeremy kembali.

Sedangkan Will hanya terus terdiam selagi melirik ke arah jam tangannya. Air keringat tiba-tiba saja mengalir di wajahnya, menggambarkan bahwa ia sedang dalam keadaan ketakutan. 

Melihat sebuah kecurigaan pada pandangan mata Will, Jeremy segera melirik ke balik tubuhnya, mencari apa yang sedang dilihat oleh Will, hingga membuat sikapnya aneh seperti ini. 

"Aku harus pulang!" Tutur Will cepat, sembari berlari dengan sangat terburu-buru. 

"Baiklah. Selamat tinggal, Will!" Balas Jeremy dengan senyuman yang tak berarti yang terukir di wajahnya. "Dasar anak muda!" 

*****

Suara sirine mobil ambulans dan polisi saling bersahut-sahutan, meraung memecah sunyinya malam. Para reporter dan cameramen televisi dan surat kabar lokal juga tak kalah memeriahkan suasana malam yang kelabu tersebut. 

"Ada apa ini?" Tanya Jeremy saat menghampiri beberapa kawanan polisi yang sedang menjaga garis kuning di depan bar yang dikunjungi olehnya beberapa jam yang lalu. "Apa yang terjadi disini?" 

"Seorang pria tewas dibunuh dengan cara yang sangat kejam. Lidahnya dipotong, dan beberapa bagian tubuhnya disayat." Jelas salah satu polisi tersebut. 

"Pembunuhannya benar-benar kejam. Psikopat!" Tambah polisi yang lainnya. 

Mendengarkan hal tersebut, Jeremy langsung menampilkan ekspresi bingung. "Siapa korbannya?" Tanyanya penasaran. 

"Pria lokal, namanya William Smith." Jawab polisi tersebut, membuat Jeremy sangat shock mendengarnya.

Dengan izin dari pihak polisi, atas nama detektif, Jeremy diperbolehkan masuk dan mengecek tragedi tersebut. 

"Sial!" Ucap Jeremy lantang ketika dirinya melihat mayat Will yang telah dimasukkan ke dalam kantong kuning tersebut. 

"Sir, kami berharap anda mau membantu kami untuk memecahkan masalah ini." Pinta seorang polisi dengan hormat. Jeremy hanya mengangguk mengiyakan. 

Setelah mayat dibawa oleh ambulans, Jeremy kembali pada misi awalnya untuk menemukan Maria, hidup atau mati. 

*****

"Hey, sexy daddy!" Sapa seorang perempuan dengan pakaian yang sangat minim, yang hanya menutupi bagian dada hingga hingga pangkal pahanya saja. "Apa yang sedang kau cari disini? Pemuas?" Tanyanya manja sambil terkikik kecil. 

"Aku sedang mencari wanita yang bernama Rosa. Apakah ia disini?" Tanya balik Jeremy dengan nada tegas. Ia tak tergoda pada wanita yang sedang menggeliat pada tubuhnya, sekalipun wanita itu berulang kali menyentuh bagian intim Jeremy dengan sengaja. 

"Oh, Rosa!" Tukas wanita tersebut. "Ia sedang melayani seorang pria. Kau bisa menunggu sejenak disini."

Jeremy hanya mengangguk, kemudian duduk pada sofa bar tempat prostitusi tersebut. Ia menunggu Rosa ditemani oleh wanita genit yang bernama Mia tersebut. 

Beberapa menit menunggu, wanita yang bernama Rosa mulai terlihat sedang berjalan bersama seorang lelaki muda yang merupakan pelanggan di tempat itu. 

Dari kejauhan, Jeremy melihat pemuda tersebut memberikan Rosa sejumlah uang. Hingga Mia memanggil Rosa untuk menemui Jeremy yang telah menunggunya. 

"Ini dia Rosa!" Tutur Mia ramah, kemudian pamit pergi untuk memberikan mereka waktu berdua. "Aku ke belakang dulu ya!" 

Mia yang merupakan sahabat dekat Rosa, berlari kecil menuju kearah dapur dengan mengedipkan sebelah matanya, menggoda Rosa yang melempar ekspresi cemberut yang sangat manis. 

"Jeremy Hudson!" Tukas Jeremy, memberikan tangannya pada Rosa yang duduk di sebelahnya.

Rosa kemudian meraih dan menyalami tangan Jeremy. "Rosalina Fernandez!" Balasnya ramah. 

"Baiklah, aku merupakan seorang detektif yang sedang memecahkan kasus hilangnya kakakmu, Maria." Ucap Jeremy menjelaskan.

Mendengarkan nama kakaknya yang hilang secara misterius tersebut, membuat air mata Rosa mulai berlinang di kelopak matanya. 

"Tolong temukan kakakku! Tolong! Tolong!" Pinta Rosa dengan nada mengemis, membuat Jeremy tertegun.

"Aku akan berusaha menemukannya. Tenanglah!" Ujar Jeremy untuk menenangkan diri Rosa. "Yang aku butuhkan saat ini adalah bantuanmu. Apa yang dirimu ketahui mengenai masalah ini?" 

Rosa yang masih terisak, mulai menenangkan dirinya dan menjelaskan sedikit yang dirinya ketahui pada Jeremy. 

"Di malam dirinya menghilang tersebut, ia pamit pergi padaku, karena semua telah tertidur kecuali diriku." Jelas Rosa. Ia masih mencoba menghentikan isakannya. "Ia terlihat sangat ketakutan, walaupun dirinya memberikanku senyuman untuk menutupi perasaannya saat itu." 

"Sebelumnya, ia pernah mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan seorang pria yang selalu menguntitnya. Tapi ia tak berani untuk membuat laporan pada polisi karena suatu alasan yang tak perlu diriku ketahui." Sambungnya secara detail. "Sepertinya hal ini sudah direncanakan sebelumnya, karena Maria juga mengatakan bahwa suatu hari, diriku akan didatangi oleh seorang pria seumuran Paman, dan aku yakin dirimu adalah pria yang dimaksud oleh Maria." Lanjutnya mantap. 

"Apakah Maria pernah mengatakan bagaimana ciri-ciri pria tersebut padamu?" Tanya Jeremy menuntut penjelasan. 

"Tidak." Jawab Rosa singkat. "Tetapi, Maria pernah memintaku untuk menjaga suatu benda. Aku tak mengingat jelas apa yang dikatakan olehnya, apa yang harus aku lakukan pada benda itu saat bertemu dengan pria tersebut." Tukas Rosa bimbang. 

"Bolehkah diriku melihatnya? Mungkin itu adalah barang bukti atau clue untuk memecahkan misteri ini." Kata Jeremy mantap, membuat Rosa ikut mengangguk. 

"Ayo! Benda itu tersimpan di rumahku." Tukas Rosa yang diikuti oleh Jeremy dari belakang. 

*****

"Ini dia!" Ujar Rosa yang telah duduk di sebelah Jeremy yang juga sedang duduk di kursi penyetir. "Sir, bisakah kau menutup kembali pintu besi yang terbuka disana? Aku benar-benar tak kuat menutupnya." Ujar Rosa meminta tolong. 

"Huh, baik. Tapi, lindungi benda itu apapun yang terjadi!"

Kemudian Jeremy bergegas untuk ke pintu besi yang dimaksud, tepat setelah Rosa mengangguk. Jaraknya lumayan jauh, tepat di sebelah bagasi yang berada di bagian belakang rumah Rosa. 

*****

Perasaan Rosa yang sedang duduk sendiri di dalam mobilnya mulai tak enak. Ia merasa ada sesuatu yang memandanginya dari luar mobil, membuatnya dengan cepat menyembunyikan benda yang dianggap sebagai petunjuk keberadaan kakaknya tersebut. Sebuah kaset dan buku. 

Jantung Rosa kini berdegup sangat kencang, menanti apa yang mungkin bisa terjadi saat ini, sebelum Jeremy kembali ke mobil. Ia terlihat begitu ketakutan, lalu mengunci pintu mobil dari dalam. Ia juga melepaskan sabuk pengaman mobil yang memeluk tubuhnya untuk berjaga-jaga kalau tiba-tiba ada yang menyerang dirinya secara mendadak.

Dor!

Sebuah peluru kini bersarang di otak Rosa, ketika seseorang yang tidak diketahui, menembak kepala wanita tersebut dari luar mobil, dibalik jendela. 

Setelah meyakinkan Rosa telah mati, orang misterius tersebut membuka pintu mobil dan mengambil benda yang masih berisi teka-teki tersebut. 

Tak lama kemudian, Jeremy kembali ke mobil tersebut. Ia shock saat mendapatkan tubuh Rosa yang tidak bernyawa lagi. Jeremy terlihat begitu menyesal telah meninggalkan Rosa sendiri. Dan kini, ia juga menyadari bahwa clue atas kasus ini ikut menghilang pula. 

Jeremy yang tidak memiliki waktu lagi, memilih untuk tidak mengubur mayat Rosa terlebih dahulu, melainkan meletakkan wanita itu di teras rumah tersebut. 

Dengan terburu-buru, Jeremy melesat kembali ke bar untuk meminta bantuan pada Mia dalam masalah ini, karena hanya Mia yang dikenal oleh Jeremy saat ini, juga Mia yang mengetahui hal ini. 

*****

"Mia!" Sapa Jeremy dengan ekspresi cemas pada wanita yang sedang melayani seorang pria disana. "Rosa tewas ditembak oleh seseorang. Aku tak yakin bahwa diriku bisa melakukan ini sendirian. Aku butuh bantuanmu!" Bisiknya tak ingin orang lain mendengar. 

Dengan panik, Mia langsung melesat mengikuti Jeremy dari belakang. Namun, sebelum mereka pergi, seorang pria menghentikan langkah mereka. 

"Hei, kau mau kemana? Kau belum selesai denganku!" Bentak pria tersebut. "Aku sudah membayarmu!"

Dengan malas, Jeremy memberikan beberapa uang untuk pria yang menjengkelkan tersebut. "Ambil ini! Kau bisa menyewa 5 wanita sekaligus malam ini." 

Setelah kasus terselesaikan, mereka kembali pada tujuan awal dengan bertolak kearah mobil. 

Selama di dalam mobil yang melaju begitu kencang, mereka berdua hanya berdiam diri, merasakan suasana panik dan tegang. 

Di kala perjalanan, Jeremy meminta Mia untuk terus menopang tubuhnya sendiri dengan erat, dikarenakan semua sabuk pengaman di mobil tersebut telah rusak, kecuali di tempat penyetir berada. Mia mengikuti perintah tersebut, dan memegang erat jok tempatnya duduk. 

Sebenarnya Mia merasa sangat takut. Bukan karena mobil yang melaju kencang, melainkan dirinya harus duduk di tempat Rosa mati ditembak. Bahkan darah Rosa yang belum mengering, masih tertanda disana. 

Sedang serius menyetir, tiba-tiba saja hal naas terjadi, nasib buruk menimpa diri Jeremy dan Mia. Mobil yang mereka kendarai tersebut hilang kendali, menabrak jajaran pohon dengan sangat kuat, hingga bagian depan mobil remuk total dan kaca depan mobil pecah tak tersisa. 

Asap yang keluar dari bagian depan mobil, terlihat samar oleh mata Jeremy yang kini berkunang. Ia secara perlahan menguatkan diri, namun Mia sendiri tak terselamatkan dari tragedi tersebut. Kepala wanita itu menancap pada pecahan kaca, juga tubuh yang remuk akibat membentur sisi lain mobil. 

Dengan perlahan, Jeremy keluar dari mobil, berjalan tertatih dengan kaki kanan yang pincang, mengikuti jalan raya yang hanya disinari oleh lampu jalan. 

*****

"Baik, sir. Kaki Anda sudah terlihat cukup baik sekarang." Ujar seorang perawat yang baru saja membuka perban yang telah menyelimuti kaki Jeremy selama beberapa hari. 

Setelah kejadian tersebut, Jeremy memilih untuk beristirahat di rumah sakit. Lagipula dirinya tak mungkin melanjutkan perjalanan dengan kaki yang pincang. 

"Terima kasih, suster!" Tutur Jeremy datar seperti biasanya. 

"Maaf, sir. Tapi, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya suster itu santun, membuat Jeremy berpikir sejenak.

"Apakah engkau Gina Lucas?" Tanya Jeremy menerka.

"Benar! Dari mana Anda tahu?" Tanya balik suster tersebut pada Jeremy.

"Dari badge name yang engkau gunakan." Jawab Jeremy sambil menunjuk benda yang tertera pada bagian dada kiri suster yang bernama Gina tersebut.

Hal itu berhasil membuat Gina tertawa terpingkal. "Jadi kita belum pernah bertemu?" Tanya Gina yang telah kembali serius.

Jeremy mengangkat bahunya, "Kalau dirimu terikat dengan Maria, model yang hilang itu, berarti ada kemungkinan kita pernah bertemu." Tukas Jeremy acuh.

"Oh, aku mengingatmu!" Ungkap Gina mantap. "Bukankah kau yang pernah bersama Maria di bar dulu? Tapi itu sudah cukup lama kurasa."

"Benarkah?" Tanya Jeremy menuntut penjelasan.

"Aku tak yakin. Karena, pria yang bersama Maria dulu terlihat lebih muda dan segar. Lagipula tubuhnya bagus. Maaf, aku tak bermaksud menyinggung!" Jelas Gina ragu. Ia merasa Jeremy tak jauh beda dari apa yang ia katakan tadi, kecuali fakta bahwa diri Jeremy sudah tua saat ini.

"Gina, bisakah aku meminta bantuanmu?" Pinta Jeremy dengan sopan, sedangkan Gina langsung menganggukan kepalanya.

"Aku membutuhkanmu untuk membantuku mengungkap misteri hilangnya Maria, karena kau memiliki hubungan dengannya. Maukah kau membantuku?" Tanya Jeremy lagi untuk memastikan kesediaan Gina untuk membantunya.

"Baiklah!"

*****

Tak berapa lama menunggu, akhirnya shift Gina berakhir. Wanita itu langsung menemui Jeremy yang telah menunggu dirinya di lobi. Setelah itu, mereka langsung bertolak menuju ke suatu tempat yang telah ditetapkan oleh Jeremy, apartemen pribadi milik Maria, untuk menemukan apa yang bisa dijadikan barang bukti.

Selama di perjalanan, Jeremy sedikit canggung melihat kearah Gina yang terlihat begitu cemas. "Ehmm—"  Jeremy berdeham, membuat Gina menatap kearahnya dengan cepat.

"Maaf, kau baik-baik saja?" Tanya Jeremy yang mencoba memberanikan diri untuk membuka percakapan.

Gina tak menjawabnya, melainkan hanya memberikan anggukan dan juga senyuman yang terlihat seperti dipaksakan. Sebenarnya Jeremy sedikit curiga dengan wanita itu, namun dirinya mencoba untuk tak membuat Gina semakin gugup.

*****

Jeremy menghentikan laju mobilnya di depan sebuah apartemen yang tak berpenghuni tersebut. Kemudian, ia keluar dari mobil untuk segera menjalankan misinya. Jeremy juga meminta Gina untuk menunggu sejenak di dalam mobil, dan mendapat anggukan oleh wanita itu.

Seling menunggu, Gina mencoba menenangkan diri dengan mendengarkan lagu pada ipod miliknya. Karena takut mengganggu keheningan malam, Gina memilih untuk membongkar isi mobil tersebut, mencari sebuah earphone.

Lelah mencari, ia tak dapat menemukan apapun, selain satu keping kaset dan buku tua yang tebal. Karena ada sedikit pertanyaan yang melayang di pikirannya, Gina langsung memasukkan benda tersebut ke dalam tasnya.

Belum genap sepuluh menit Jeremy keluar dari mobil, Gina sendiri mulai merasa khawatir tak tahu kenapa. Secara perlahan, wanita itu keluar dan bersembunyi di balik semak yang tak jauh dari mobil. Ia benar-benar merasakan ada sesuatu yang tak baik akan terjadi.

Tak lama kemudian, Gina melihat sesosok orang yang menggunakan pakaian serba gelap, berjalan menuju ke arah mobil. Orang itu berjalan dengan sangat pelan dan hati-hati, bersama sebuah pistol di genggamannya.

Melihat itu, Gina langsung menutup mulutnya dengan rapat, sedangkan air matanya mulai mengalir. Ia membayangkan bagaimana nasibnya bila ia tak keluar dari mobil itu tadinya.

Kini orang tersebut terlihat bingung dengan melirik kearah kanan dan kiri, membuat Gina curiga. Sepertinya, hal ini telah direncanakan sebelumnya, dan bisa saja orang itu telah mengikuti mobil mereka sedari tadi.

Karena tak menemukan siapapun di dalam mobil, orang tersebut berlari menjauh, menghilang dalam kegelapan malam. Sedangkan Gina, ia mulai melangkah menuju ke dalam gedung apartemen tersebut, untuk menemui Jeremy yang belum juga kembali.

Sesampainya di ruangan milik Maria dulu, Gina bertemu dengan Jeremy yang sedang mencari sesuatu. Wanita itu tak dapat menahan air matanya, lalu memeluk tubuh Jeremy dari belakang.

"Gina? Ada apa?" Tanya Jeremy yang terkejut saat mendapati Gina menangis dibalik tubuhnya.

Dengan menyisakan isakan, Gina menceritakan kronologi apa yang baru saja terjadi padanya. "Sepertinya, hal itu telah terencana dan orang itu memang mengincarku!" Ujar Gina yang masih terbalut dalam dekapan Jeremy.

"Anak pintar!" Ucap Jeremy dengan suaranya yang berat, membuatku Gina bingung.

Dengan cepat, Gina menatap kearah Jeremy yang terkikik, yang berhasil membuat wanita itu ketakutan. Kini, di hadapannya, sebuah pistol telah menganga tepat di tengah dahi Gina.

"Aku memang sudah merencanakan hal ini sebelumnya," Ungkap Jeremy dengan tawa jahatnya. "Dengan sangat matang tentunya!" Sambungnya mengintimidasi.

Gina menangis selagi pelatuk pistol mulai ditarik oleh Jeremy, ia hanya bisa berdoa, berharap pria yang berdiri di hadapannya bukanlah psikopat yang akan memotong tubuhnya nanti.

Ahh

Tiba-tiba saja tubuh Gina terlepas dari Jeremy. Ia melihat pria tersebut menjauh darinya sambil mengusap kepalanya. Gina baru menyadari bahwa ada seseorang yang baru saja memukul kepala Jeremy dengan balok kayu.

"Gina, cepat lari!" Perintah seorang wanita yang sudah berada di tengah anak tangga, membuat suster tersebut terkejut, ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Namun, Gina masih tetap ikut berlari mengejar wanita tadi.

Belum tiba Gina mendekat pada wanita yang kini telah tiba di pucuk tangga, tiba-tiba seseorang menarik rambutnya dengan kuat, membuat suster tersebut jatuh terpelanting ke dasar tangga.

Kemudian, Jeremy—orang yang menarik rambut Gina tadi—langsung menginjak tubuh Gina dan memukul wanita tersebut berkali-kali tanpa ampun, hingga sebuah vas bunga terlempar dari lantai atas dan pecah mengenai kepala Jeremy yang langsung mengalirkan darah segar.

Gina yang kesakitan terus mencoba keberuntungan dengan kembali berlari tertatih menuju ke pucuk tangga. Ia berterima kasih pada wanita tersebut karena telah menyelamatkan dirinya.

Tinggal beberapa anak tangga lagi untuk tiba di lantai atas, Jeremy kembali menarik kaki Gina dengan penuh tenaga, membuat wanita tersebut terpelosot dengan posisi telungkup hingga ke dasar, membuat suster itu tak sadarkan diri.

Kini Jeremy tak ingin repot-repot menghancurkan Gina yang bahkan sudah tak memiliki tenaga lagi, ia hanya memilih untuk mengejar wanita yang memang menjadi incarannya selama ini.

Maria! Wanita yang berada di lantai atas itu adalah Maria, si model yang menghilang secara misterius tersebut. Tak disangka bahwa selama ini dirinya bersembunyi di apartemen ini. Dan kini waktunya bagi Jeremy untuk membalaskan dendam pada model tersebut.

Melihat Jeremy yang semakin mendekat, Maria langsung berlari ke sebuah kamar. Ia terlihat sangat ketakutan. Tak ada yang bisa dilakukan olehnya di ruangan tersebut, kecuali mencari tempat sembunyi yang aman.

Di dalam sebuah lemari yang lumayan besar, Maria bersembunyi dalam diam. Doanya berharap Jeremy tak mengecek ruangan ini.

*****

Suasana begitu tenang selama beberapa menit, tak ada suara sama sekali, baik dari Jeremy, maupun Gina. Suasana seperti itu lebih menakutkan bagi Maria, dibanding harus mendengar langsung suara penjahat yang sedang mengejar dirinya.

Tanpa ada suara langkah maupun tanda apapun, tiba-tiba pintu lemari tempat Maria bersembunyi hancur. Sepertinya Jeremy telah mengetahui tempat persembunyian wanita itu.

Tanpa rasa iba, Jeremy menarik rambut Maria hingga wanita itu meringis dan keluar dari lemari tersebut. Jeremy juga tak segan membanting tubuh Maria ke tembok, membuat tulang wanita itu terasa sangat nyeri.

Belum sempat Maria menyadari apa yang baru saja terjadi, tangan Jeremy telah menamparnya dengan sangat kuat, hingga hidung wanita itu mengeluarkan darah.

Maria yang tak kuat lagi, hanya bisa mengeluarkan air mata tanpa menyuarakan isakan pada tangisnya. Kemudian, Jeremy mengangkat tubuh wanita tersebut dan mengikatnya dengan posisi terduduk di atas kursi.

"Maria!" Tutur Jeremy dengan suara tenang, namun dengan nada yang ditekan. Ia menarik rambut Maria, hingga wajah wanita itu searah dengan wajahnya.

Kini, Jeremy telah berubah menjadi monster yang benar-benar tak memiliki rasa iba sama sekali terhadap wanita yang wajahnya telah rusak tersebut. "Kau adalah iblis yang menjelma menjadi seorang wanita cantik."

Dengan tergagap, Maria mencoba berbicara. "Je-rry... A-ku me-mencintai-mu... A-ku—"  Ucapnya terbata.

"Ssssht—" Potong Jeremy dengan menegakkan jari telunjuknya di depan mulut Maria. "Aku juga mencintaimu. Tenanglah!"

"Sekarang biarkan aku menyelesaikan tugasku! Aku akan memotong tubuhmu dan mengambil jantungmu. Aku mau membuktikan apakah kau benar mencintaiku. Aku juga akan mengambil otakmu dan mengecek apakah aku ada di pikiranmu." Terang Jeremy sambil tertawa kecil. Alhasil, Maria langsung lemas mendengarnya.

"Ke-napa k-kau mela-kukan i-ni?" Tanya Maria yang semakin tak kuasa menahan rasa sakitnya.

"Mengapa aku melakukan ini!!?" Ucap Jeremy mengulangi pertanyaan Maria. "Lucu sekali pertanyaanmu!!"

Uhukk Uhukk....

"Biarkan aku menjelaskan semuanya, agar matiku tak sia-sia bagimu." Pinta Maria untuk yang terakhir kalinya. Jeremy hanya terdiam, memberikan tanda untuk mempersilahkan wanita itu berbicara.

"Saat pertama kali aku melihatmu, diriku begitu kagum padamu. Aku tak pernah membayangkan seorang gadis 18 tahun sepertiku akan mencintai seorang pria 44 tahun sepertimu, bahkan hingga saat ini, 10 tahun lamanya.

Aku mencintai setiap apa yang engkau cintai dan membenci setiap apa yang engkau benci. Aku hidup dibalik tubuhmu, memastikan kau akan selalu baik saja. Maka dari itu, aku tak kuasa menahan gemelut amarahku waktu itu. Maafkan aku, aku tak pernah berniat membuatmu ditahan dulu.

Setelah aku mendengar masalahmu dengan seorang polisi, aku sengaja mengundangnya untuk berkencan denganku. Siapa yang tak ingin berkencan dengan model cantik sepertiku? Setelah itu, ketika ia sedang lengah, aku menjalankan misiku dengan cepat mengikatnya. Waktu itu aku meneleponmu untuk datang, agar kita berdua bisa menyiksanya bersama. Namun, entah bagaimana polisi itu berhasil lepas dan mencoba menyerangku. Untuk melindungi diri, aku refleks menembaknya beberapa kali dengan pistol yang sedang aku pegang.

Disana, aku tak menyangka bahwa kau akan tiba saat aku sedang mandi. Dan bodohnya, kau menyentuh pistol itu. Aku juga tak menyangka bahwa rombongan polisi datang dengan cepat dan menangkapmu karena sidik jarimu yang tercetak pada pistol tersebut, membuatmu dipecat dari pekerjaanmu dan ditahan selama beberapa tahun." Jelas Maria panjang lebar, membuat Jeremy menggertakkan giginya geram.

"Jelaskan alasanmu membunuh istri dan putraku!" Tuntut Jeremy tegas.

"Seperti yang aku katakan tadi, aku akan membenci apa yang kau benci. Dan aku tau bahwa kau membenci istrimu dan anak haram itu!

Saat kau di penjara, aku meminta bantuan Will, mantan kekasihku, untuk membunuh istri jalangmu yang selingkuh di belakangmu. Belum lagi si jalang itu mengandung anak haram dari selingkuhannya dan membebankan hal itu padamu.

Aku hanya tak ingin si jalang itu kembali menyakitimu. Aku juga tak ingin anak haram itu tumbuh seperti orangtuanya, tukang selingkuh. Seperti ayahnya, tukang perkosa yang tak bertanggungjawab. Jadi aku dan Will membunuh mereka berdua!" Tutur Maria dengan tenang.

Kini, Jeremy hanya bisa terdiam, memegang kepalanya yang terasa nyeri dan berdenyut-denyut. Ia tak menyangka adanya kebaikan terhadapnya dibalik semua yang dilakukan oleh Maria.

"Maaf waktu itu aku pergi meninggalkanmu! Aku harus mencoba menenangkan diriku terlebih dahulu." Sambung Maria dengan penuh penyesalan. "Akhirnya, aku bisa mengungkapkan semua ini padamu!"

Dengan air mata yang berlinang di kelopak matanya, Jeremy langsung membuka ikatan yang menempel pada tubuh Maria. Pria itu langsung memeluk erat tubuh wanita yang terlihat sangat buruk tersebut.

"Maafkan aku, Maria!" Ucap Jeremy dengan perasaan sedih yang menyelimuti dirinya. "Aku telah membunuh orang-orang yang dekat denganmu sebagai pelampiasan!"

Maria langsung menatap Jeremy dengan tatapan penuh intimidasi, menuntut penjelasan mengenai apa yang dimaksud oleh pria tersebut.

"Aku telah membunuh Will dan Rosa, sebagai balasan terhadap kematian istri dan anakku. Aku membunuh Will karena ia mulai mengetahui bahwa diriku merupakan pria yang sedang mengincarmu. Sedangkan Rosa, dia memiliki sebuah benda yang aku takut, merupakan barang bukti bahwa diriku yang menguntitmu selama ini." Jelas Jeremy yang hanya dibalaskan dengan ekspresi sedih oleh Maria.

"Aku juga telah membunuh Mia, sahabat adikmu yang mengetahui bahwa diriku dan adikmu pergi bersama untuk terakhir kalinya. Dan juga, dirinya merupakan keponakan dari pelacur yang telah menghancurkan keluarga kakakku, Tim. Bibinya itu telah mengirimkan foto sex mereka saat Tim sedang mabuk dulu, pada istri Tim, hingga kakak iparku tersebut terkena serangan jantung dan meninggal dunia bersama anak yang dikandung olehnya." Tambah Jeremy dengan nada yang antara marah dan menyesal.

"Dan mengapa kau membawa Gina kesini?" Tanya Maria yang mulai penasaran.

Sebelum Jeremy menjawab, ia menghirup nafas panjang terlebih dahulu. "Ia adalah anak dari pria yang menjadi selingkuhan istriku. Ayahnya merupakan guru piano Tina dulu." Ucap Jeremy malas, membuat Maria tercengang kaget.

"Mengapa kau tak membunuhnya?" Saran Maria cepat, tanpa mau berfikir panjang.

"Ia benar-benar pintar. Aku tak menyangka bahwa dirinya telah keluar dari mobil sebelum aku kembali untuk membunuhnya." Jawab Jeremy. "Lagipula, kau telah mengacaukan rencanaku untuk menembak kepalanya, dengan memukul kepalaku menggunakan balok kayu." Lanjutnya ketus.

Maria hanya tersenyum malu dan meminta maaf, karena ia tak mengetahui mengenai rencana itu sebelumnya.

"Aku ingin bertanya, bagaimana caramu membunuh Will, Mia dan Rosa?" Tanya Maria dengan serius.

"Will, aku hanya menyiksa sebentar, lalu memotong lidahnya dengan cutter. Mia, aku secara sengaja menabrakkan mobilku hingga menyebabkan ia tewas. Ini sangat sulit, aku bisa saja mati saat insiden tersebut aku lakukan." Jelasnya panjang lebar. "Dan Rosa, aku membunuh adikmu dengan cepat dan tak menyiksa perempuan itu. Aku menembak kepalanya dengan pistol."

Maria hanya mengangguk dan tersenyum, walaupun beberapa tetes air mata telah berlinang di pelupuk matanya.

"Oh iya, aku ingin tahu mengenai kaset yang kau titipkan pada Rosa itu!" Ujar Jeremy dengan nada meminta.

Maria kemudian menyunggingkan senyum penuh arti. "Tontonlah! Sebenarnya aku membuatnya khusus untukmu. Rekaman itu cocok untuk ditonton di suasana seperti ini." Tukas Maria masih dengan senyum.

Mendengarkan hal tersebut, membuat Jeremy bergeming. Pria tersebut langsung bertolak menuju ke mobilnya. Namun ia tak menemukan apapun disana. Kemudian timbul rasa curiga terhadap Gina yang mungkin telah mengambilnya secara sengaja.

Sesampainya di ruangan, Jeremy langsung mencari keberadaan benda tersebut dan menemukannya di dalam tas milik Gina. Kemudian ia mulai beranjak, dan tak lupa mengikat erat tubuh Gina di atas kursi yang berada di dekat jendela.

*****

"Ini dia!" Tukas Jeremy yang langsung memutar kaset tersebut. Sedangkan Maria sedang duduk di tepi kasur untuk ikut menyaksikannya bersama Jeremy.

Ketika video itu dimulai, Jeremy langsung mengerutkan dahinya. Rekaman tersebut dibuka dengan diri Maria yang sedang tersenyum mengarah ke kamera sambil memainkan sebuah pistol. Ia tertawa penuh makna dan kemudian mengarahkan pistol itu kearah kamera, membuat Jeremy semakin bingung.

Dor!

Semua berjalan begitu cepat sebelum suara tembakan dari rekaman itu terasa begitu nyata. Jeremy baru dapat menyadari apa yang sebenarnya terjadi setelah pikirannya berhasil menelaah dalam waktu beberapa detik. Jeremy merasakan nyeri yang begitu dahsyat di beberapa bagian tubuhnya.

"Ternyata aku berbakat juga dalam hal akting, bukan begitu Jerry?" Tanya Maria dengan nada mengejek.

Kini tubuh Jeremy terkulai lemah, hanya bertumpu pada Maria yang sedang memberikan tawa iblisnya pada pria yang pernah dicintainya tersebut.

"Ter-terkutuk-lah k-kau, iblis!" Ketus Jeremy terbata, ia tak bisa melakukan apapun saat ini, kecuali mengucapkan segala sumpah serapah terhadap Maria.

"Ini hanya balasan kecil dari adikku, Rosa hahahaha..." Tawa Maria diikuti dengan belaian tangannya pada wajah Jeremy.

Dengan bibir yang masih tersenyum, Maria menciumi bibir Jeremy, hingga beberapa menit, ketika nyawa pria itu menghilang bersama darah yang keluar dari bagian tubuhnya yang ditembak oleh Maria beberapa kali.

"Selesai!"

Dengan melenggak puas, Maria berjalan keluar ruangan dan menuruni anak tangga, menuju ke lantai bawah. Disana, Maria tersenyum sinis ketika dirinya menemukan diri Gina yang telah terikat di atas kursi yang berada di dekat jendela. Kini suster tersebut telah sadarkan diri, meringis dan mulai meronta, mengharapkan bantuan dari Maria yang berada di hadapannya.

"Oh, jadi ini dia anak dari pria jahanam yang menjadi awal dari kehancuran ini!" Ujar Maria ketus, sambil mendekati Gina yang kini malah merasa takut.

"Hai, Gina!" Sapa Maria ramah. Ia mulai memainkan kursi tempat dimana Gina duduk sambil tak hentinya menangis. "Ada apa denganmu? Kau tak ingin aku membantumu?" Tanya Maria kesal.

Entah apa yang direncanakan oleh Maria saat ini, hingga dirinya dengan baik, mencoba melepaskan ikatan Gina tersebut. Namun, sebelum itu, ia meminta Gina terlebih dahulu memegang pistolnya, selagi Maria membantu menyingkirkan tali yang hinggap pada tubuh Gina.

Setelah ikatan itu terlepas, Gina dengan cepat mengarahkan pistol tersebut pada kepala Maria yang tampak sangat tenang, tak takut sama sekali. Getaran tangan Gina bahkan terlihat dengan jelas di mata Maria, menyatakan ini merupakan kali pertamanya suster itu memegang senjata.

Clakk! Clakk!

Tak terpikirkan oleh Gina sebelumnya bahwa pistol yang baru saja ditarik pelatuknya itu, tak berisi peluru sama sekali. Maka dari itu Maria terlihat sangat tenang akan hal yang harusnya bisa membunuhnya itu.

"Ya Tuhan, Gina! Kau mau mencoba membunuhku? Tega sekali!" Ucap Maria dengan begitu mendramatisir keadaan, seakan dirinya yang sedang sedih saat ini. "Hahahaha... Bodoh!" Tawa Maria jahat.

Kini, Gina semakin terlihat ketakutan terhadap diri sahabatnya tersebut. Ia mundur secara perlahan, hingga terhenti ketika kakinya menginjak tepat di garis jendela ruangan yang berada di lantai 6 tersebut.

"Sebenarnya, aku ingin dan bisa saja mendorongmu keluar dan membuat segalanya berjalan dengan cepat. Kau tak akan tersiksa!" Kata Maria mantap. "Tapi aku tak mau membunuh orang tanpa memberitahukan alasanku untuk melenyapkan dirinya terlebih dahulu. Aku tak mau berurusan dengan arwah penasaran yang akan mengganggu kehidupanku nantinya!" Ucapnya penuh canda meledek.

Gina tak ingin menanyakan sesuatu atas pernyataan tersebut, melainkan hanya bisa terisak tanpa henti. Ia tak pernah menyangka bahwa ia akan segera mati di tangan sahabatnya sendiri.

"Kau pernah mendengar cerita bahwa ayahmu itu telah berselingkuh dengan murid di kelas piano yang diajarnya? Belum? Baiklah, aku akan menjelaskan hal itu secara singkat!" Tukas Maria, memulai pembicaraan tersebut. "Jadi, ayahmu melakukan hubungan intim dengan muridnya, yang tak lain adalah istri dari Jeremy. Namun, ayahmu tak mau mempertanggungjawabkan hal tersebut. Ok, selesai! Bye!"

Tanpa disangka, Maria langsung mendorong tubuh Gina dengan cepat keluar jendela. Maria sendiri tertawa puas saat melihat hasil kerjanya tersebut. Namun, ia mendapatkan tantangan baru kali ini, yang mana tangan Gina masih kuat bertumpu pada tepi jendela ruangan tersebut.

"Maria, tolong aku! Tolong, aku mohon!" Tangis Gina mengemis iba, selagi tangannya bergetar karena tak yakin dapat memopang tubuhnya lebih lama lagi.

"Baiklah!" Balas Maria yang langsung memijak tangan Gina dengan high heels merah yang sedang digunakan olehnya. "Aku akan membantumu, Gina! Membantu mempercepat hilangnya rasa sakitmu!"

Kini, tangan Gina yang semakin melemah, tak memiliki pilihan lain, selain melepaskan pegangan tersebut. Pula, pijakan yang diberikan oleh kaki Maria begitu menyakiti jari-jemarinya, memaksa dirinya untuk menyerah.

Melihat kondisi Gina saat ini, membuat Maria tertawa bahagia. "Selamat tinggal, Gina!" Ucapnya dengan manja.

"Ikutlah denganku!" Ucap Gina dengan suara berat.

"Tidaaaaaaak!!!"

Tak disangka, ternyata Gina memang merupakan seorang wanita yang sangat pintar, dan bahkan cerdik. Sebelum ia terjatuh, Gina sempat menarik kaki Maria, hingga mereka berdua terjatuh ke bawah secara bersamaan. Menyisakan keheningan malam dan tanah berembun yang terolesi oleh darah dari tubuh yang remuk tersebut.

Kini, semua bukti sudah lenyap tak tersisa. Mungkin hanya akan ada tanda tanya yang tersisa, yang akan terbawa hingga akhir dunia.

*****

"Sir, sir, tolong jelaskan kronologi kasus ini!!"

Puluhan wartawan dan reporter tak hentinya mengejar langkah cepat seorang pria dari kepolisian yang bernama Carroll Newton tersebut.

Para wartawan dan reporter menuntut pihak kepolisian untuk buka mulut dan menjelaskan secara rinci mengenai peristiwa ini. Namun, sang ketua kepolisian sendiri memilih untuk bungkam, hingga kasus ini benar-benar usai diselidiki.

Kini, ketua kepolisian tersebut memasuki ruangan yang telah dipenuhi oleh beberapa anggota polisi yang siaga bertugas menyelidiki kasus complex ini.

"Entah bagaimana ini bisa terjadi!?" Ucap pria itu ketus. Ia berhasil membuat semua bawahannya terkejut dengan gebrakan meja yang dilakukannya.

"Lihat! Maria yang menghilang, ditemukan tewas semalam, bersama sahabatnya, seorang suster yang bernama Gina yang juga baru menyelesaikan shift nya semalam. Apakah mungkin wanita yang terkenal sangat baik itu pelakunya? Tidak! Tidak ada bukti nyata maupun logis disini!" Ungkap Carroll geram.

Ketua kepolisian itu terus mencoba untuk menenangkan diri, namun selalu gagal karena ini merupakan kasus terumit yang pernah mereka selidiki.

"Pula, pria yang merupakan mantan agen rahasia itu, ditemukan tewas di ruangan pada apartemen yang sama. Mungkin dia pembunuh tersebut? Belum tentu! Kirim tidak memiliki bukti!" Sambung Carroll ketus. "Bagaimana kita akan menyelidiki kejadian ini tanpa saksi mata ataupun barang bukti?" Tambah pria itu kesal sendiri. "Pula, disana tak ada orang maupun cctv yang aktif. Dan kaset yang menjadi satu-satunya barang bukti, telah dihancurkan berkeping-keping oleh si pelaku!"

"Tenang, sir!"

"Diam!!!" Pekik pria itu pada bawahannya yang ingin menenangkan dirinya. "Aku tak bisa tenang! Apalagi aku meyakini bahwa kematian seorang pria di bar waktu itu, penemuan jasad wanita yang tertembak di kepala dan wanita yang tewas dalam mobil itu ada hubungannya dengan ini semua, mengingat mereka juga rekan keluarga Maria!" Sambung kepala polisi tersebut.

"Sir, apa mungkin mereka membunuh satu sama lain sebagai aksi balas dendam? Maksudku, mungkin satu dari mereka memiliki dendam lama yang dibalaskan ke rekan korban terlebih dahulu." Timpal salah satu anggota polisi baru yang bernama Edward tersebut.

"Jelaskan lagi!" Titah Carroll yang tertarik dengan teori tersebut, begitu pula anggota lainnya.

"Mungkinkah si model tersebut pernah membunuh rekan atau keluarga pria itu? Dan pria tersebut sengaja mencari model itu untuk membalaskan dendam. Pria itu juga membunuh rekan dan keluarga si model sebagai pelampiasan atas masa lalu si pria tersebut(?)" Ujarnya memperjelas teori tersebut.

Setelah mendengar dan mengasup penjelasan dari Edward tersebut, semua anggota polisi dapat meyakinkan diri bahwa teori Edward tentang hilangnya model tersebut adalah benar dan rinci.

"Teori yang unik." Caroll bergumam sambil menganggukkan kepalanya. "Dan juga aneh."

***The Theory : Lost of the Model***

Jumat, 17 Juni 2016

CERITA MASA LALU

Standard
Sore ini, saat diriku sedang duduk bersama kedua putra dan putri kembarku, Evan Vandy dan Ivy Laurent di teras rumahku. Aku membayangkan kembali kejadian yang terjadi ketika diriku berumur 17 tahun.

Malam itu, aku jenuh karena miskin akan pengetahuan. Wajar saja, orangtuaku tak pernah mengajariku apapun selama aku lahir. aku buta ilmu dan buta aksara. Aku juga tak pernah keluar dari rumah hingga malam itu benar-benar tiba.

Malam itu, angin berhembus sangat kencang. Aku, Ibuku dan beberapa temannya berkumpul di halaman belakang rumahku. Disana, aku dihimpit oleh beberapa orang secara bergantian ketika berbaring. Aku tak tau itu ritual apa, tapi itu membuat sekujur tubuhku nyeri, bahkan ada darah yang terus mengalir di salah satu lubang tubuhku.

Beberapa waktu kemudian, setelah diberi makan yang sangat banyak, perutku mulai penuh. dari sebelumnya tubuhku yang kurus, menjadi gemuk dengan perut yang buncit. Selang beberapa minggu, aku benar-benar bingung, jarum menusukku beberapa kali, membuat sekujur tubuhku mati rasa, kecuali tanganku. Makanan dan buah-buahan cukup banyak disana, tapi tak menggugah seleraku.

Aku dapat mendengar mereka berdoa dan memberiku titah, "Belah buah besar tersebut! Belah hingga cairan segarnya keluar." Aku mengangguk, kemudian membelah buah besar yang ada di atas perutku. Kalau tak salah, Ibu bilang itu disebut semangka.

Tak tahu mengapa, aku memekik lantang ketika membelah buah tersebut, hingga semua air merahnya tumpah mengenai bajuku dan lantai.

Sampai sekarang aku masih buta ilmu dan aksara. Bahkan anakku pun Ibuku yang menamai mereka. Dan juga, hingga saat ini, aku masih bingung.

Minggu, 14 Februari 2016

PR ADIK

Standard
Malam ini, aku sedang membantu adikku yang terlihat pucat karena sedang sakit ini, mengerjakan pr-nya tentang hidangan. Aku rasa ini cukup mudah, karena ia masih kelas 3 SD. Aku kembali menatap remeh buku tersebut, membaca secara acak selagi dirinya masih menulis.

"Apa yang kamu sukai?"

Andi : Aku suka red meat! 
Dela : Sepertinya brownies! 
Helen : Aku suka masakan bibi! 
Tia : Semua yang manis, permen dan coklat! 
Rendi : Aku suka Ibu! 
Jean : Bubur sumsum yummy. 
Lea : Telur dadar. 
Nora : Buah-buahan. 
Dion : Brownies dan blackforest!

Tiba-tiba diriku tersentak saat tangan adikku, entah secara tak sengaja atau bagaimana, memegang lenganku hingga berdarah karena terkena kukunya yang panjang,

"Kak, aku sudah selesai menulis!" Ujarnya dengan sebuah senyuman di bibirnya.

Aku hanya tersenyum dan kembali memberikan dirinya jawaban yang benar untuk nomor selanjutnya. Aku benar-benar tak mempermasalahkan luka itu sama sekali. 

VALENTINE YANG TRAGIS

Standard
Aku adalah seorang siswa SMA jurusan ipa pada salah satu sekolah internasional yang tak jauh dari rumahku. Aku memiliki seorang teman perempuan yang telah aku suka secara diam-diam semenjak kami masih kelas satu dulu. Ya, walaupun aku seorang nerd, tapi aku tetap dapat merasakan cinta, bukan?

Sekarang kami sudah menginjak kelas 3. Sebelum aku lulus, aku berniat untuk mengungkapkan perasaanku selama ini padanya dengan cara memberikan sesuatu yang spesial di hari valentine ini. Aku pernah membaca diary-nya secara tak sengaja dan aku tau bahwa dirinya menyukai hadiah coklat yang dibungkus dalam kemasan berbentuk hati di hari spesial itu.

Kali ini, aku meminta bantuan pada sahabatku untuk mencarikanku coklat dan langsung membungkusnya dalam kemasan berbentuk hati, agar diriku bisa langsung memberikan hadiah itu pada perempuan idamanku tersebut. Aku tak sabar menunggu hari esok!

Hari ini, tepat pada hari valentine, kami mendapatkan kabar duka. Sahabat perempuan idamanku meninggal dengan sangat sadis. Sebenarnya aku turut berduka atas tragedi itu. Namun, di sisi lain, aku dan sahabatku cukup bahagia, karena ia merupakan anak sombong yang selalu mengucilkan kami. Maafkan aku, bukan bermaksud apa-apa, tapi kematiannya telah membuat perempuan idamanku bersedih. Mungkin inilah kesempatanku untuk mencari perhatian pada perempuan itu dengan memberinya hadiah valentine ini agar dirinya terhibur.

Setelah bersiap-siap, di sore harinya, aku membuat janji dan menemui perempuan idamanku itu di atap sekolah. Semenit kemudian, aku langsung memberinya hadiah tersebut. Namun, kurasa kematian sahabatnya telah membuatnya gila. Hari itu dirinya meninggalkanku setelah ia melompat bebas dari atap sekolah tanpa alasan. Aku sangat sedih semenjak itu dan akan selalu mengingat momen 2 menit bersamanya untuk yang terakhir kalinya. 

Selasa, 30 Juni 2015

TEMAN TAK BERTANGGUNGJAWAB

Standard
“Aku benci sekali dengannya! Dia kira aku perempuan murahan apa?” Ujarku kesal.

“ah kau saja yang bodoh, kalau aku jadimu, sudah aku bunuh tadi lelaki itu!” Tambah temanku.

“Enak aja! Kau menyuruhku membunuhnya di tempat yang ramai orang, untung saja tak ada seorangpun yang mendengarmu dan aku masih bisa mengontrol diri!” Balasku semakin kesal.

“Lelaki seperti itu memang sudah pantas untuk mati!” Sambung temanku.

“Kau ini kawan atau lawan sih?” Aku makin kesal.

“Kau pikir saja sendiri. Aku satu-satunya orang yang kau punya saat semua orang meninggalkanmu. Aku juga selalu memberi saran padamu dan buktinya kau masih setia menjagaku.” Jelas temanku.

“Iya sih, soalnya sudah ditakdirkan! Tapi kau benar juga sih, Cuma kau yang selalu mengerti diriku, lebih dari sahabat setiaku semenjak SD itu.” Aku meredam sedikit kekesalanku.

“Ya sudah, kalau begitu dengarkan aku, bunuh saja lelaki itu!” Perintahnya.

“Enggak ah, aku gak mau dipenjara!” Aku menolak keras.

“Kau ini susah sekali dibilang! Kalau aku bisa, sudah aku bunuh dia untukmu!” Gumamnya percaya diri.

“Ah sudahlah, kau psikopat, kau bukan diriku. Aku akan meminta bantuan musuhmu yang lebih mempertimbangkan sesuatu saja!” Aku mengakhiri perdebatan kami.

“Kau tak boleh dan tak bisa pergi dariku. Kau pasti akan membutuhkan suatu saat nanti. Dasar tidak tahu terima kasih!” Tegasnya berani.

“Terserah apa katamu!”
*

Seorang wanita ditemukan telah membunuh seorang laki-laki dikamar hotel milik lelaki tersebut. Anehnya, wanita tersebut tertidur setelah melakukan hal tersebut. Bahkan ia dibangunkan oleh seorang polisi dan langsung diamankan. Ditemukan barang bukti berupa parang berlumur darah dengan sidik jari wanita tersebut.

“Aku bersumpah, bukan aku pembunuhnya! Temanku memaksaku dan aku tak bisa melawannya!” Aku mencoba membela diriku.

“Seharusnya kau melawannya jika kau benar tak ada niat!” Ujar Polisi tak mau kalah.

“Dia sahabat baikku, tak mungkin aku melawannya!” Sambungku terus membela diri.

“Baiklah, kalau begitu aku akan mencari temanmu juga!” Tambah Polisi tersebut dengan kesal.

“Kau tak akan bisa menemukannya, ia tak memiliki jejak sama sekali di hotel itu!” Ucapku kesal.

“Kalau begitu, kau sendiri yang membunuhnya!” Polisi mengakhiri permbicaraan.

“Tidak! Dialah yang memaksaku dan dia pelakunya!” Aku berteriak dari dalam penjara selagi Polisi itu pergi meninggalkanku sendiri.