Setelah mendengar suara tersebut,
aku juga mendengarkan percakapan antara beberapa orang, “Bagus, sudah stabil.”
“Secepatnya ya. Tolong!”
Percakapan itu mulai terdengar nyata di telingaku, tetapi mataku sulit untuk
terbuka, ini sungguh menyakitkan. Aku mencoba menggerakkan tubuhku, namun
semuanya terasa sangat menyakitkan dan aku mencoba untuk beristirahat,
barangkali aku akan sembuh dalam beberapa waktu.
Beberapa jam kurasa telah aku
habiskan diatas tempat yang nyaman ini, ini terasa lebih lembut dan empuk dari
tempatku tadi. Aku mulai menggerakkan tangan dan kakiku, lalu aku membuka
mataku. Aku terkejut saat mengetahui bahwa tempat ini adalah Rumah Sakit.
“Ira? Akhirnya kamu sadar, ra.”
Aku melihat Risa duduk disamping tempat tidurku dan bahagia melihat aku sadar.
Akupun bingung mengapa aku bisa
disini dan Risa tampak baik-baik saja, bahkan sama sekali tidak memiliki bekas
luka, dia tampat cantik dan mulus seperti biasanya. Aku menjadi semakin bingung
saat Risa mengatakan sesuatu padaku. Aku sangat takut mendengarnya.
“…aku tak tahu, tetapi aku pikir
kamu bersama orangtuaku, dan alangkah terkejutnya aku saat mengetahui
orangtuaku tidak bersamamu. Keesokan paginya kami mendapat kabar bahwa kamu
kecelakaan didalam mobilku.”
Aku sangat ketakutan dan aku merinding
mendengar kalimat tersebut. Aku mengangis dan meminta Risa untuk membawa aku
pulang kerumahku. Aku sudah tidak kuat lagi mendapatkan terror seperti ini. Ini
bodoh dan tidak seharusnya terjadi padaku yang tidak bersalah.
Risa pun mengiyakan permintaanku
dan berjanji akan segera mengantarkanku kerumahku saat dokter mengizinkanku
untuk meninggalkan rumah sakit.
Malam ini, Risa akan menginap
dirumah sakit ini untuk menemaniku. Aku sangat senang mendengarkan hal itu,
namun aku masih terlalu takut dengan kejadian yang menimpaku saat itu.
“…Dong, dong…” Suara bel rumah
sakit telah terdengar diruanganku yang berada dilantai 6 rumah sakit ini,
menandakan tengah malam telah tiba. Aku terbangun dan melihat Risa sedang
tertidur di sofa ruanganku tepat disebelah kasurku. Risa terlihat sangat lelap
karena diluar sedang hujan lebat dan angin cukup kencang berhembus.
Aku rasa aku sudah sembuh dan
seluruh badanku sudah bisa digerakkan, walaupun aku masih sedikit pincang dalam
berjalan.
Aku pun bangun dari tempat
tidurku untuk memberi Risa selimut agar ia tidak kedinginan. Namun, aku merasa
seperti ada beberapa orang yang berbicara diruangan sebelah. Suara mereka
sangat pelan, akupun mendekati dinding untuk mendengarkan apa yang sedang
dibicarakan mereka. Aku berjalan mendekati dinding secara perlahan agar tidak
diketahui oleh orang meraka yang berada diruangan sebelah.
Suara itu terdengar putus-putus,
aku hanya dapat mendengarkan beberapa kata, “…tau…sedang…aku…balik…ini…”
“…akan……….…SEKARANG!!!!!”
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…..
Aku berteriak keras karena dari
balik dinding tersebut keluar tangan yang langsung mencekik leherku dengan
sangat kuat. Tangan itu besar dan mengerikan, kotor, kukunya sangat panjang.
Aku terus berteriak meminta tolong, namun tidak ada yang mendengarkan
rintihanku tersebut. Beberapa saat, terasa nafasku sudah hampir habis dan
tangan tersebut masih berada dileherku. Akupun merasa seperti melayang sebelum
akhirnya tidak sadarkan diri.
“Jaga dia baik-baik ya!”
“Baiklah, dok.”
Aku mulai sadar saat mendengarkan
percakapan Risa dan dokter. Aku membuka mataku perlahan, kepalaku masih sakit,
tenggorokanku perih, kaki dan tanganku masih sangat lemas.
Risa melihatku telah sadarkan
diri, dan aku melihat wajah Risa sangat cemas. Ia pun segera berjalan menuju kearahku.
Dia bertanya apa yang sebenarnya terjadi hingga aku tergeletak tak sadarkan
diri diatas lantai malam itu.
Awalnya aku tidak ingin
menceritakan hal tersebut, namun karena didesak oleh Risa, akupun menceritakan
terror yang dilakukan oleh makhluk misterius dari rumah Risa hingga sekarang
terhadap diriku.
Mendengar pernyataanku, Risa
tertawa dan menganggap diriku berbohong. Namun, ia menjadi percaya saat aku
menunjukkan bukti luka cekikan dileherku yang dilakukan makhluk tersebut malam
itu. Luka ini seperti luka akibat benda sempit yang melilit kencang leherku,
perih dan menyakitkan. Karena mengetahui kejadian misterius yang aneh ini, Risa
berjanji akan menjagaku mala mini dan akan mengantarkanku kerumah secepatnya
setelah aku sembuh.
…dong, dong…
Suara bel rumah
sakit terdengar seperti biasanya pada tengah malam, aku selalu terbangun saat
mendengarkan suara bel tersebut. Aku melihat Risa yang sedang terlelap diatas
sofa dengan berselimutkan selembar kain tebal. Karena traumaku masih terasa,
aku tidak mau lagi bangun pada tengah malam, aku pun kembali menutup mataku dan
tidur hingga pagi menjelang.
Beberapa jam aku terlelap, aku
merasa ada seseorang dari luar ruanganku mencoba membuka pintu yang ruanganku
yang dikunci dari dalam oleh Risa. Aku pun menoleh kearah sofa tempat Risa
tidur. Alangkah terkejutnya diriku saat melihat Risa sudah tiada lagi
ditempatnya. Aku mencoba berfikir positif, mungkin saja Risa dari kamar kecil
dan ingin masuk kembali. Lalu, aku berpura-pura tidur dan mengintip sedikit kearah
pintu ruanganku.
…Clok…
Pintu ruanganku terbuka perlahan,
aku masih terus mengintip dengan berpura-pura tidur. Aku terus melihat kearah
pintu yang telah terbuka setengah tersebut, namun belum ada seorangpun
melangkahkan kakinya kedalam ruangan. Aku mulai takut, keringat dinginku mulai
berjatuhan bersama air mataku yang berlinang perlahan membasahi bantalku.
“Kenapa pintu ini terbuka ya?”
Suara Risa pun terdengar olehku, perasaanku sangat lega. Semua rasa takut
langsung hilang, aku sangat bersyukur pada Tuhan atas kedatangan Risa.
“Terima kasih, Tuhan.” Ucapku
dalam hati.
Risa yang melihatku terbangunpun
segera menuju kearahku dan bertanya kepadaku, “Ngapain dibuka itu pintu? Baik-baik
dikunci.”
“Nggak, tadi aku lihat kamu gak
ada disofa, takutnya kamu ke kunci dari luar.”
“Ya sudahlah, tidur lagi deh. Masih
jam 2 malam nih.”
Akupun menutup mataku kembali,
begitu pula Risa yang melanjutkan kembali tidurnya diatas sofa. Namun, aku
kurang nyenyak dalam tidurku. Semua perasaan takut, trauma dan terror masih
menghantui pikiranku.
...sreek...shruuut…craak…sreeek…
Tiba-tiba aku mendengar seberkas
suara dari dinding kamar sebelah, karena sangat takut, aku membalikkan
pandanganku kearah jendela dan Risa serta membelakangi dinding tersebut.
Aku semakin sulit untuk menutup
mataku, karena rasa takutku bertambah saat mendengarkan suara tersebut makin
keras. Suara tersebut seperti suara seseorang dibalik dinding tersebut ingin
mencoba melubangi dinding dengan cara menggaruk tembok tersebut.
Aku semakin sulit untuk menutup
mataku saat suara garukan tersebut menjadi suara pukulan keras pada tembok,
akupun berlari kearah Risa untuk membangunkannya tanpa melihat kearah tembok
tersebut sedikitpun.
Aku melihat kearah tembok
tersebut, namun suara tersebut berhenti seketika Risa terbangun. Tembok
tersebut tampak biasa saja.
“Ada apa, ra?” Tanya Risa yang masih setengah
sadar dari tidurnya.
Untuk menutupi terjadinya masalah
dengan suara dan tembok tersebut, akupun berbohong kembali, “Aku mau ke kamar
kecil, antarkan kesana ya sambil nunggu. Aku takut malam-malam dirumah sakit.”
Ujarku.
“Oh, ayolah.” Risa bangkit dari
sofa dan bersedia mengantarkanku ke kamar mandi yang berada diujung lorong
ruanganku.
Untuk menuju kearah kamar mandi
dari ruanganku, kami harus melewati semua ruangan yang ada pada lorong ini,
sekitar 26 ruangan dikiri dan kanan lorong.
Karena masih bertanya-tanya dalam
hati, sambil berjalan aku melirik sedikit ruangan kosong misterius yang berada
disebelah ruanganku. Didalam sana tampak gelap dan sunyi berbeda dengan
beberapa ruangan lainnya dilorong tersebut yang diisi oleh sebagian pasien,
baik pasien sendiri maupun yang ditemani keluarganya.
Sesampai dikamar mandi, aku masuk
dan Risa menunggu diluar. Didalam kamar mandi tersebut, terdapat 5 kamar kecil,
dan didepan kamar kecil tersebut terdapat wastafel besar seperti yang terdapat
di mall. Aku masuk ke kamar kecil pertama.
…chiiiiit…
Terdengar suara pintu kamar kecil
terbuka, ada seseorang yang masuk kekamar kecil kedua, disebelah kamar kecil
yang aku masuki. Akupun mulai tenang dikamar kecil tersebut karena merasa
ditemani walaupun dipisahkan oleh tembok antara kamar kecilnya.
0 komentar:
Posting Komentar