Jumat, 01 Agustus 2014

Silent & Frozen ; 3

Standard
Aku terlelap dalam dinginnya kamar Risa, dingin, sangat dingin, “Ini bukan angin” Ujarku yang merasa ada sesuatu yang aneh kembali terjadi. Tiba-tiba, suara misterius terdengar dari jarak yang sangat jauh.


“Ayolah, tutup mataku. Jangan biarkan aku melihat apapun, jangan biarkan aku mendengar apapun, biarkan saja suara berlalu.” Ujarku dalam hati untuk menghiraukan suara itu.

Suara tersebut terdengar semakin mendekat, keringat dinginku mengalir, aku yakin tubuhku bergetar, aku merasa kaku dan mungkin wajahku tampak pucat.

“Aku berani, biarkan saja suara itu berlalu.” Ujarku ketakutan mengabaikan suara tersebut.

“Kau takut, kau tidak berani. Kau tidak dapat mengabaikanku.” Suara tersebut seperti berbicara kepadaku.

“Jangan hiraukan dia, dia hanya mimpi. Imajinasi dan khayalan. Teruslah menutup mata. Itu adalah suara tipuan agar aku tidak tidur dengan nyenyak.” Ujarku dalam hati terus mengabaikan suara tersebut.

“Buka matamu!”


Akupun membuka mataku…

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……” Teriakku histeris melihat seorang perempuan lusuh berada didepan mataku, melotot, bau busuk, dan berada diantara diriku dan Risa. Aku terbanting hingga terjatuh dari kasur. Aku masih melihatnya, melihat matanya yang hitam, melihatku tersungkur ketakutan.

Aku terus berteriak sekuat tenaga. Namun, suara lantangku tidak membangunkan Risa dari lelapnya buaian ranjang empuk yang dingin.

“Katakan aku hanya mimpi dan khayalanmu!” Ujar perempuan tersebut sambil terus melihat kearahku. Tiba-tiba perempuan misterius tersebut melayang mendekat kearahku. Suaraku habis, sungguh hilang dari kerongkonganku.

“Ayolah kita bermain!” Ujar kembali perempuan tersebut mendekat kearahku. Aku segera berlari menuju kearah Risa, mencoba membangunkannya dari tidurnya.

“Risa bangun. Risa!” Teriakku sambil menggerakkan tubuh Risa.

Bruuuak…

Tubuh lemas Risa terjatuh dari atas kasur keatas lantai. Risa seperti tidak sadarkan diri. Risa benar-benar tampak lelah. Aku hanya bisa duduk menangis melihat perempuan lusuh tersebut mendekat kearahku dan Risa. Aku benar-benar ketakutan, air mataku mengalir deras mewakili suaraku yang telah hilang. Aku pun menutup mataku dan berharap mimpi buruk ini segera berakhir.

Beberapa saat aku menutup mataku, aku merasa baik-baik saja. Apakah mimpi burukku telah berakhir. Aku pun membuka mataku dengan senyum ceria.

“Apa yang kau lihat?”

“Aaaaaaaaaaaaaa…..” Teriakku histeris saat melihat perempuan tersebut sudah berada didepanku. Aku pun terkejut dan terus berteriak sambil berlari menuju pintu kamar Risa. Aku terus berlari walaupun aku tau perempuan lusuh tersebut hanya duduk diam tidak mengejarku.

Aku segera membuka pintu kamar Risa yang tidak terkunci dan berlari keluar kamar dan menutup rapat pintu kamar terkutuk itu.

“Eh, Ira. Sudah bangun? Nyenyak sekali tidurnya, jadi gak enak mau bangunin.” Ujar Risa dan keluarganya yang sedang duduk diatas meja makan ruang keluarga sambil menunggu hidangan pagi.

“Mbak kenapa nangis?” Tanya Imah yang melihat air mataku terus berlinang.

“Eh, kamu nangis, ra? Kenapa?” Tanya Risa yang tampak khawatir dan segera berlari menuju kearahku.

Risa pun membawaku ke meja makan bersama keluarganya. Ayah dan ibunya tak berhenti bertanya apa yang terjadi denganku. Namun aku hanya bungkam, diam tanpa kata.

“Aku mau pulang!” Ujarku kepada Risa.

Dia tersenyum sambil melanjutkan sarapannya. Aku tau, itu bukan senyum biasa yang Risa berikan kepadaku. Aku berdiri dan meninggalkan meja makan dengan alasan ke kamar mandi. Imah melihatku dan mengikutiku.

Dikamar mandi aku menangis dan Imah yang mengikutiku pun bertanya ada apa sebenarnya yang terjadi denganku.

“Imah, cuci mukamu. Keluar dari kamar mandi ini.” Perintahku sambil memberikan Imah air satu gayung kecil.

Imah pun segera mencuci mukanya dan melihatku cemas. Ia segera membuka pintu kamar mandi dan melihat kearah meja makan, lantas ia menuju kesana dengan langkah biasa. Imah melewati keluarga Risa dan menuju kearah dapur.

Aku terus memperhatikan Imah yang tak kunjung keluar dari dapur yang berada disebelah ruang keluarga. Aku mengintipnya melalui celah pintu kamar mandi yang aku buka sedikit.

“Apa yang sedang kau lihat” Terdengar suara yang sangat dekat dan seperti berbicara kepadaku. Aku memberanikan diri walaupun rasa takut telah membakar semangatku. Aku tidak melihat kearah belakangku dan keluar dari kamar mandi menuju meja makan bersama keluarga Risa.

“Lama sekali, ra.” Tanya Risa kepadaku sambil menyantap hidangannya.

Lalu, aku melihat Imah keluar dari dapur menuju kearahku sambil membawa hidangan untukku. Aku melihat Imah tersenyum kepadaku sambil meletakkan hidangan diatas meja dihadapanku.

Aku melihat terdapat selembar kertas berada dibawah piringku. Aku membukanya perlahan agar tidak dilihat oleh siapapun. Aku sedikit ketakutan saat membaca kertas kecil tersebut.

Aku memberanikan diri untuk melihat kearah kamar mandi. Namun, aku sangat ketakutan. Perlahan aku memutarkan kepalaku kearah kamar mandi.

“Kau sudah tahu itu aku?” Risa bertanya kepadaku, membuatku membatalkan untuk melihat kearah kamar mandi. Aku tersenyum kepada Risa karena tidak terlalu jelas mendengarkan pertanyaan yang ia ajukan.

“Aku ingin pulang. Boleh? Aku rindu dengan orangtuaku.” Tanyaku pada Risa.

Risa pun segera bangkit dari tempat duduknya dan mengajakku ke kamar untuk mengganti pakaian. Namun, aku melihat keanehan pada senyum Risa. Aku memanggil Imah untuk menemaniku mengganti baju bersama Risa.

Aku terus melihat Risa saat dia mengganti bajunya, Imah yang mengikuti kami terus berada disebelahku. Setelah Risa mengganti bajunya, ia segera mengajakku ke mobilnya. Imah yang merasa keanehan juga merencanakan untuk tidur dirumahku. Dia berpamitan pada keluarga Risa, mereka pun mengizinkannya.

Setelah berpamitan dengan keluarga Risa, kami pun mengadakan perjalanan mulai dari pukul 12 siang. Jam demi jam kami habisi untuk perjalanan kerumahku yang jaraknya sangat jauh dari rumah Risa. Aku dan Imah berbincang-bincang untuk melupakan penat sejenak. Namun Risa hanya tetap menyetir mobilnya, diam tak bersuara.

Siang pun berganti malam, sekarang pukul setengah 7 petang hingga kami telah ¾ perjalanan. Aku kira kami akan tiba dirumahku pada pukul 10 malam. Aku dan Imah yang telah merasa ngantuk, tidak berani untuk memejamkan mata kami. Kami takut aka nada sesuatu yang terjadi walaupun kami sudah tidak dirumah Risa lagi.

Perjalanan kami terasa sunyi, Risa hanya diam saja, Aku dan Imah pun sudah kehabisan topic untuk dibicarakan. Beberapa menit telah berlalu, Imah yang sangat mengantuk memilih untuk tidur. Karena mata sudah tidak bersahabat lagi, aku juga memilih tidur dalam keadaan ketakutan.

Aku hanya menutup mataku selama 5 menit. Ya, aku yakin aku baru 5 menit nyenyak dari tidurku.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaa…..” Terdengar jeritan ketakutan seorang perempuan membuatku bangun dari tidurku dan membuka sedikit mataku. Aku tidak melihat Imah lagi disebelahku, dia menghilang. Risa terus mengemudikan mobil seperti tidak sadarkan diri.

Rasa takutku makin bergejolak saat aku melihat ada seorang perempuan berbaju lusuh yang duduk disebelah Risa. Aku seperti mengenal perempuan tersebut. Tiba-tiba dia menghilang dari tempat duduknya.

“Mengintipku?” Suara perempuan tersebut terdengar dibelakangku. Aku berteriak ketakutan dan lari ke tempat duduk depan, disebelah Risa.

Aku tahu, inilah akhir dari segalanya. Aku tidak tahu mengapa. Tetapi aku merasakan mobil tersebut berjalan sendiri dan tangan Risa menggenggam erat leherku.

“Jangan takut Ira, ini hanya mimpi.” Ujarku untuk menyemangati diriku sendiri agar tidak takut.

Namun, cengkraman kuat itu semakin terasa menyakitkan, cengkraman tersebut sangat kuat seperti menahan nafasku yang telah berada di tenggorokanku, sakit, aku menangis kecil melihat diriku yang sangat malang.

Cengkraman Risa yang kuat tersebut semakin merenggang, sepertinya Risa mulai melepaskan cengkraman kuatnya dileherku tersebut.

Bruuuuuak….

Kaca mobil disebelahku pecah dan aku hanya dapat berteriak sangat ketakutan, aku melihat dari luar mobil terdapat seorang perempuan yang sangat samar-samar ditelan gelapnya malam, ia menghancurkan kaca mobil tersebut dengan kedua tangannya. Lalu tangannya tersebut mencekik leherku hingga aku sudah tidak dapat bernafas lagi.

Karena sangat panik, aku membanting setir mobil tersebut hingga kami menabrak sebuah pohon besar. Betapa sakitnya kepalaku, hingga sulit untuk menjaga diri tetap sadar. Aku pun tersungkur tanpa daya didekat Risa yang telah pingsan.

Sreeeet, sreeeeet, huuuuh, hmmmmmm…..

Aku tahu aku mendengarkan suara. Iya, itu suara.

1 komentar:

  1. Lanjut dong, kalo bisa dipercepat dan berkala ceritanya, kayak seminggu 2 kali gitu kan heheh.

    BalasHapus