“Ayo
Risa, kita harus cepat!” Ujarku perlahan sambil memopang tubuh Risa untuk terus
berjalan mencari tempat yang aman. Aku rasa ketakutan membuatku kuat untuk
melakukan hal ini.
“Ira,
aku lelah. Kita harus mencari tempat beristirahat.” Gumam Risa yang semakin
melemah.
Yang
benar saja mencari tempat beristirahat di tempat seperti ini. Aku bahkan tak
tahu ini dimana. Aku juga sangat ketakutan, frustasi, lelah, intinya semua hal menjadi
satu padu. Aku mencoba tak menghiraukan Risa dan terus berjalan mengikuti jalan
utama tersebut, berharap ada seseorang yang melewati jalan ini. Walaupun
terdengar mustahil, apa salahya berharap?
Malam
sangat terasa dingin, bahkan menusuk tulang Stevy dan Felix yang sedang berada
di dalam mobil. Mereka sedang dalam perjalanan ke arah rumah Ira. Felix
menyetir mobil dengan kecepatan tinggi, sedangkan Stevy terus mencoba menelepon
Ira, walaupun selalu diangkat oleh operator. Mereka mulai kehilangan harapan
dan semakin putus asa. Ira adalah harapan kehidupan mereka.
“Aku
sangat cemas!” Ujar Stevy sambil mematikan layar ponselnya. “Aku takut!”
“Kau
kira aku tidak?” Cetus Felix dengan nada berat. “Sebelum engkau mati, Irene
pasti akan membunuhku terlebih dahulu!”
Seakan
berada di tempat yang terbuka, tubuh Felix dan Stevy semakin merinding karena
dinginnya malam yang sudah membuat kulit mereka mati rasa. Mereka tak mau
menghiraukan apapun selain keadaan Ira yang tak tahu entah dimana.
Mobil
yang dikendarai oleh Felix berhenti mendadak, hingga membuat kepala mereka
terbentur dan merasa kesakitan. Ini adalah suatu tindakan cepat yang dilakukan
Felix, karena mobil mereka hampir saja menabrak mobil yang sedang terparkir di
depan mereka.
“Felix!!!”
Stevy berteriak jengkel. Karena kelalaian Felix, mereka hampir celaka seperti
ini.
Memar
yang tertanda di dahi kanan mereka tidak menjadi masalah besar dibandingkan
harus menabrak mobil yang berada di depan mereka tersebut. Tanpa mau mencari
tahu sama sekali, mereka meninggalkan mobil tersebut, dan bergegas untuk
mencari Ira kembali.
Felix
kembali menjalankan mobil dengan kecepatan yang sangat tinggi, hingga hal yang
sama terjadi lagi. Felix menghentikan mobil secara mendadak, membuat kepala
mereka kembali terbentur dan tak sadarkan diri. Felix hampir saja menabrak
mobil yang sedang terparkir dihadapannya, namun aksi penyelamatan diri mereka
harus menghentikan aksi pencarian Ira.
Ira
terlihat sangat lelah, seperti badannya akan remuk. Jangankan memopang Risa,
bahkan berjalan sendiri saja telah membuatnya tak bisa membedakan mana langit
dan mana bumi. Ia berhenti di bawah sebuah pohon besar, meletakkan Risa yang
sudah tertidur pulas dan menyandarkannya pada pohon tersebut.
“Aku
harus tetap nyari bantuan!” Ira berdiri, melanjutkan aksinya. “Mungkin Risa
akan baik-baik saja disini.”
Tanpa
mencemaskan Risa, Ira kembali berjalan tertatah-tatah sepanjang jalan utama
tersebut. Ia berharap ada sebuah rumah disekitar sini, setidaknya ada orang
yang berbaik hati memberinya dan Risa tempat beristirahat.
Hampir
dua puluh menit berjalan, Ira akhirnya menemukan sebuah gubuk kecil. Di pintu
depannya terdapat sebuah papan kecil bertuliskan ‘Mbah Ramli”. Tanpa berpikir
panjang, ia mengetuk pintunya berharap kebaikan dari pemilik rumah.
Tiga
ketukan Ira telah berhasil membuat dua orang suami istri yang sudah sangat
berumur membukakan pintu dan menatapnya intens. “Ada apa, nak?” Tanya pria
tersebut.
“Saya
butuh bantuan!” Jawab Ira sambil meneteskan air mata.
Rasanya
sudah satu jam mereka tak sadarkan diri, sebelum akhirnya Stevy membuka matanya
perlahan dan melihat sekelilingnya. Ia memperhatikan Felix yang masih belum
sadarkan diri dan lingkungan gelap di sekitar mobil.
“Stevy!”
“Aaaaaaaaaa.....” Stevy berteriak lantang
saat melihat kearah luar dari kaca mobil tersebut.
Mendengar
suara tersebut, membuat Felix sadarkan diri. Ia hanya dapat melihat Stevy
menangis sambil menutup matanya diatas bangku mobil tersebut. “Kenapa, Stev?”
Stevy
memeluk Felix erat, “Irene!” Ujarnya terbata-bata sambil menangis tersedu-sedu.
Di
gubuk tua tersebut, Ira duduk disebelah Risa sambil menangis tersedu-sedu. Ia
rasa dirinya tak akan selamat dari kutukan yang sedang melandanya saat ini.
Kesedihannya membuat hati Pak Ramli dan istrinya luluh.
“Ada
apa, nak?” Tanya Pak Ramli lembut. Ia mungkin dapat membantu Ira keluar dari
masalahnya saat ini.
Ira
menatap Pak Ramli, “Pak, apakah bapak tahu mengenai sihir atau kutukan?” Ira
mengambil nafas sejenak. “Sepertinya aku mendapatkan sebuah kutukan.”
Pak
Ramli terdiam membeku, “Kutukan?” Ia masih mencoba untuk merespon kalimat Ira
tersebut. “Apa yang membuatmu yakin kalau itu adalah kutukan?”
Ira
terdiam sejenak, memperhatikan Pak Ramli kebingungan. “Aku memiliki sebuah
tanda aneh di kaki kananku.” Risa memperlihatkan betisnya pada Pak Ramli dan
istrinya. “Dan aku selalu dihantui oleh makhluk yang bahkan aku tak tahu itu
apa.”
Melihat
tanda tersebut, membuat Pak Ramli dan istrinya tercengang. “Pak, segitiga itu!”
Ucap Bu Ramli terbata-bata. “Di betis!”
“Ada
apa, Bu? Kenapa dengan tanda ini?” Tanya Ira kebingungan. Ia benar-benar yakin
bahwa ada sesuatu yang diketahui oleh suami istri tersebut tentang tanda aneh
itu.
Pak
Ramli menatap Ira sejenak, “Tidak! Itu bukan apa-apa!” Jawab Pak Ramli singkat.
Wajah Pak Ramli semakin pucat dengan keringat yang ikut mengalir diwajahnya.
“Lebih baik kau beristirahat!”
Karena
tidak puas dengan jawaban tersebut, Ira terus memaksa suami istri tersebut
untuk memberitahunya. Ia sudah lelah untuk hidup seperti ini, dikejar oleh
makhluk yang bukan dari bangsanya.
Hampir
setengah jam Ira memaksa Pak Ramli, hingga orangtua tersebut tidak memiliki
pilihan lain selain mengatakan yang sebenarnya pada Ira. Ia berpikir ini adalah
waktu yang tepat untuk mengungkapkan kesalahan masa lalunya.
“Sebenarnya...”
Pak Ramli memulai kalimatnya.
Tok Tok Tok....
“Pak
Ramli!” Teriak seseorang dari luar rumah sambil mengetuk pintu dengan kuat.
“Pak Ramli!”
Tanpa
menunggu orang tersebut merubuhkan pintu rumahnya dengan ketukan seperti itu,
Bu Ramli segera bangkit dari tempatnya dan membuka pintu tersebut.
Tak
lama, Bu Ramli telah datang kembali bersama seorang perempuan dan laki-laki.
“Stevy! Felix!” Tanya Ira tak percaya. “Apa yang kalian lakukan disini?”
Melihat
Ira yang masih dalam kondisi baik, Stevy segera mendekatinya dan memeluknya
erat. “Ira baik-baik saja, kan?” Tanyanya cemas.
“Ada
apa ini?” Tanya Ira mencoba melepaskan pelukan Stevy. “Mengapa kau mencemaskan
diriku?”
Felix
mendengus pasrah, “Pak Ramli, ceritakan semuanya!” Perintahnya tegas. Ia segera
duduk di dekat Ira.
“Baiklah....”
Pak Ramli memulai.
Sebelas bulan yang lalu, jika kau
mengingatnya, engkau pernah diculik oleh beberapa orang. Saat engkau diculik
dan tak sadarkan diri, kau dibawa ke tempat ini. Kami berencana melakukan
sebuah praktik ritual yang sudah dilarang didunia perdukunan.
Ini semua atas perintah Ayah Stevy yang
membayarku dengan uang yang sangat berlimpah. Melakukan praktik ‘Triatomi’,
Praktik menyatukan darah tiga orang agar ketiga orang tersebut memiliki tiga
sel darah masing-masingnya. Ini adalah praktik yang sangat berbahaya.
Dalam praktik ini, ada tiga bagian, yaitu
Borban, Batrah dan Binal. Borban adalah korban awal yang tidak tersangkut dalam
masalah ini. Selanjutnya Bathrah adalah penyatu darah Borban dan Binal, yaitu
orang yang masih tersangkut dalam masalah, namun dalam pihak kedua. Selanjutnya
adalah Binal, orang yang memiliki andil tertinggi dalam masalah, orang yang
dilindungi dari masalah.
Di praktik yang aku lakukan, aku membuatmu
menjadi Borban, Felix sebagai Batrah dan Stevy sebagai Binal. Masalah ini
adalah sebuah masalah asmara yang terjadi antara Felix-Stevy-Irene.
“Mengapa
kalian begitu tega menjadikanku tumbal?” Ira memotong cepat dengan nada penuh
rasa kecewa.
Stevy
menangis, “Maafkan aku, Ira! Tapi kau harus mendengar penjelasan kami terlebih
dahulu!” Ujar Stevy dengan nada penuh penyesalan.
“Benar!”
Tambah Pak Ramli. “Kau harus mendengar penjelasan ini terlebih dahulu.”
Ira
terdiam dengan air mata yang terus mengalir di pipinya, Ia tak memiliki pilihan
lain selain mendengarkan penjelasan tersebut. Rasanya sama saja jika ia marah,
tidak akan hilang ikatan ‘Triatomi’ tersebut dari tubuhnya.
Stevy dan Felix memilihmu karena mereka tahu
kau tidak ada hubungan dengan Irene sedikitpun, jadi kau akan aman dari
kejarannya. Namun, aku mengetahui kesalahan teori ini, setelah satu bulan
berlalu, dan aku mengetahui mengapa teori ini dilarang.
Borban ini seharusnya dilakukan pada
keluarga arwah yang sangat disayangi, karena ia tidak akan membunuhnya walaupun
terpaksa. Tapi kami menggunakanmu secara tak sengaja, dan aku tak tahu
bagaimana caranya Irena dapat mengetahui bahwa kau adalah Borban untuk masalah
ini.
“Bagaimana
melepaskan ‘Triatomi’ ini?” Tanya Ira spontan. Ia ingin mengakhiri semua ini
segera.
“Ini
akan kau bawa sampai mati. Belum ada cara untuk melepaskannya, itulah mengapa
praktik ini dilarang keras!” Tegas Pak Ramli. “Tapi, karena harta aku dibutakan
dan secara hakim sendiri melakukannya padamu. Maafkan kami!”
“Dan
aku akan mati sebelum membahagiakan orangtuaku?” Ira menangis tesedu-sedu, tak
percaya dengan apa yang telah ia dengarkan.
“Tenang
saja, ini akan bertahan selama 2 tahun untuk seorang Borban selamat selamanya.”
Sambung Pak Ramli.
Satu tahun pertama, kalian akan merasakan
ikatan yang kuat, itulah mengapa Stevy dan Felix mau berteman denganmu selama
ini, setelah mereka rajin mem-bully-mu. Tahun selanjutnya, tanda pada Borban
akan menghilang, diikuti Batrah pada tahun selanjutnya, dan Binal pada tahun
keempat.
Seharusnya, Irena bergentayangan satu bulan
lagi hingga tandamu hilang. Namun kesalahan perkiraan ilmu dukunku membuat
semua ini terjadi. Sekarang, untuk membunuh Stevy, ia harus membunuhmu dahulu,
lalu Felix. Setelah semua tiada, ia akan kembali tenang di alam sana.
Mantap bro
BalasHapus